iklan banner

Redupnya Purnama Di Langit Jogja

“Ge,,,, Saranku lu jangan maksain….!”,
“Gue, ngak apa2 Ndut, pesawatnya udah mau take off, gue jalan dulu yah”, Aku tersenyum dan bergegas.
***
Bagiku Jogjakarta adalah salah satu dari sekian tempat terfavorit yang ada di Indonesia, tentunya setelah kota Malang dan Bandung. Malang kota Ibuku dan Bandung kota Ayahku. Saat ini aku akan tinggal untuk beberapa waktu di kota Gudeg. Meski sembari menjalankan tugas profesiku sebagai reporter, Aku tetap antusias datang ke kota ini.

Setengah jam pesawatku Delay, aku terpaksa harus menunggu waktu untuk menikmati kota Jogjakarta.
“Bete yah, sekarang pesawat-pesawat sering Delay ?”, ucap seseorang. Aku terkaget dan menoleh ke arah suara itu, aku tak berkata hanya tersenyum dan mengangguk. Kembali Aku sibuk dengan Gadgetku, melihat beberapa sosmed yang masuk.

“Kamu, Reporter News TV itu bukan ?”, Tanya nya lagi
“Oh, Iya … Kok bisa tahu ?”, tanyaku heran. Pasalnya memang station televisi tempat aku bekerja cukup dikenal publik, tetapi aku baru 2 atau 3 kali muncul di televisi melaporkan sebuah pristiwa, jadi kemungkinan orang mengenalku sangat kecil.
“Waktu itu, sempat liat kamu, ngabarin berita, gempa, mmm Sumatra Barat kalau gak salah ?”, Kenangnya sambil mengernyitkan dahinya.
“Oh, iya, itu …. Bener, bener, itu perdana aku on air, live lagi … Aduh”, Balasku, ramah.
“Ke Jogja, Kursi nomer berapa ?”, Tanyanya lagi, tanpa sempat aku jawab. Terdengar pemberitahuan, bahwa pesawatku akan segera take up.
Oia, Sory banget nih, itu pesawatku, Aku Duluan”, ucapku tergesa merapihkan tas kecilku.
“Oke, sipp, gak papa”, Balasnya dengan senyuman hangat.

Jam 17.48 Aku tiba di Jogja, lepas dari Bandara, Aku langsung menuju hotel yang sudah dipesan kantorku di jakarta secara online. Standar penginapan untuk reporter, gak mewah tapi cukup nyaman untuk ditinggali, lengkap dengan akses internet yang memudahkan pekerjaanku mengirim berita ke kantor pusat.
“Ge, lu udah sampe hotel ?”, Pesan di Watsappku, Heri kameramen yang akan menjadi partnerku bekerja disini, kebetulan dia sudah datang sehari sebelumnya untuk mengambil liputan dengan tema yang berbeda.

“Iya, nih, gue baru aja jebol pintu hotel, lu udh Wa aja, he he”, balasku.
“Ha, ha, gue kan partner yang suka mata-matain lu, lu dari Jakarta ke Jogja ga mandi jg gue tahu, Iya kan ? Ha ha “, balasnya.
“Haaa, ha tau ja lu, udah ah, gue mau beres-beres dulu nih, capek bingo, selesai liputan penggusuran, take up Jogja. Oia, bsk kita shot jam brp ?”, balasku
“05.30, gue udh nangkring di hotel lu yah, sekalian dijemput mobil kontributor Jogja”,
“Oke …” balasku singkat.

Benar saja, teng 05.20, bel kamar hotelku, berbunyi, aku berteriak.
“Bentar Ndut, gue pake baju dulu….., 5 menit keluar, oke ?”, teriakku,
Tak ada jawaban dari balik pintu, Aku bergegas merapihkan seragamku, memeriksa tas kecilku, takutnya ada alat tempur yang ketinggalan. Sambil menggigit pensil aku keluar membuka pintu kamar hotel.

“Eh. Ontime banget lu Ndut …? Gak tidur bukan semalem pulang dugem ?”, Ejekku
“Ah, elu, enggak juga, tadi mamake gue bangunin subuh2, jadi jam segini udah melek deh, He he”, Jawabnya.
“Yuk meluncur !, udah ditunggu di bawah nih ma orang Jogja, Yuuk ! Ajaknya”.
Aku mengangguk dan kami bergegas.
Hampir 4 jam liputan, masih belum kelar juga, ada 2 lagi narasumber yang harus kami temui agar beritanya menjadi berimbang. Dari daerah Gunungkidul kini aku harus meluncur ke Tugu Jogja, disana Gubernur Jogjakarta sudah meunggu kami.

“Ge, coba lu hubungi ajudan Pak Sultan, takutnya Raja Jogjanya udah kelamaan nunggu”, ucap Heri kepadaku
“Oke, ndut, coba gue Wa, nanti kalau ga bales gue telpon aja kali yah?”, Tanyaku ragu. Heri mengangguk tanda setuju kemudian dia ambil posisi aman dan nyaman, alias ngorok.
Secepat detik berlalu, jarum jam sudah 15 menit berlalu dari awal kami berangkat, selama perjalanan aku menemukan banyak sekali lukisan alam yang tampak hidup, seolah menyapaku, mengajak bertukar cerita.
Sebenarnya aku enggan meladeni cerita mereka, tetapi ada sebuah lengkungan awan putih yang mencuri perhatianku, entah kenapa saat aku melihat awan itu, serasa tersenggol syaraf senyumku, aku tersenyum kepada awan itu dan secara spontan bergumam, “I like, langit Jogja”.

“Ini dengan, Ibu Gea, Dari NEWS TV ?, Bapak masih mengisi materi, sekitar 1 jam stgh lagi, sepertinya sudah sampe tempat Bu”, Aku terkejut, dengan balasan Wa sang ajudan.
Baik pak, terimakasih atas informasinya, kami sedang otw ke tugu jogja, sekitaran 1 jam sampai disana, gak apa-apa biar kami yang menunggu Bapak aja”, balasku.
“Iya, sama-sama”, Balas sang Ajudan singkat.

Meskipun sempat kikuk karena berhadapan secara langsung dengan Raja Jogjakarta, tetapi akhirnya tugasku hari ini selesai, tepat pukul 20.30 Wib. Rasanya lelah sangat, plus keroncongan juga belum makan malam, akhirnya Aku, Heri dan kontributor jogja memutuskan untuk mencari makan di angkringan sambil menikmati suasana malam Malioboro.

Ya, tempat ini memang tempat yang cocok untuk menikmati kehidupan malam, dimana saat kehidupan normal sudah meredup menuju istirahat, kawasan ini baru bangun dan bergeliat siap menyapa siapapun yang datang mengunjunginya. Berbagai jajanan khas daerah jogjakarta ada disini, termasuk seniman-seniman jogjakarta yang mencari rejeki atau sekedar mencari panggung, turut melengkapi keriuhan malam Jogjakarta. Tepatnya di Malioboro.

“Ge, kenapa lu, sakit ?”, tanya Heri, Aku tak menjawab, hanya mengangkat bahuku dan meneguk wedang jahe hangat, Heri paham jika bahuku sudah seperti itu, berarti aku tak mau berbicara dan bercerita. Heri tak menyapaku lagi, dia asik membagi tawa dengan kontibutor Jogja, sambil meneguk kopi hangat dan ubi rebus.
“Ndut, gue cari angin depan bentar yah, nanti kalau udah pada mau chaw, telpon aja”, Ucapku, Heri tak menjawab, dia hanya mengacungkan jempolnya, pertanda “Iya”.

“Malam-malam gini, calon reporter ternama, tanpa seragam masih berkeliaran, sepertinya ada misi peliputan khusus nih ?”,

Aku terkejut dengan kata-kata yang muncul dari belakangku, pasalnya aku tengah asik menikmati alunan group musik berpakaian baju daerah. Dan rasa kaget itu terjawab oleh sosok yang ada di depanku saat ini. Orang itu, orang yang tiba-tiba mengagetkanku di bandara, kini persis muncul lagi secara tiba-tiba.

“Riyan,,,”, Ucapnya lagi sambil tersenyum mengulurkan tangannya, aku menyambut tangan itu
“Mmm, Gea,,, “ Jawabku, seolah tak percaya,
“Pesawat Airasia 237”, lanjutnya
“Yap,,, kok …”, tanpa sempat melanjutkan dia memotong
“Aku juga dipesawat yang sama, cuman di kursi belakang persis sebelah tolilet”, Jawabnya.
Oke, Fine,,, Ajaib sih, tapi ya itulah hidup, kadang dunia ini tak selebar daun kelor, nyatanya seharian ngeliput belum semua Jogja terinjak, he he he”, jawabku sekenanya
“Suka kesenian daerah juga ?”, tanyanya lagi
“Enggak sih, cuman nyari suasana aja, bosen nemenin kameramen sama kontibutor jogja nyeruput kopi, angkat kaki deh dari tempat mereka, he he”,
Dia tak berkata lagi, hanya tersenyum dan berdiri disampingku menghadap group kesenian yang tadi aku lihat, aku terpaksa memutar badanku, dan ikut melihatnya kembali.

Saat aku ingin membuka kata, tiba-tiba handponeku terasa bergetar, panggilan masuk, Heri mengajakku pulang ke hotel. Dan secara sepontan, tanpa aku minta Riyan merogoh dompetnya dan meberikan kartu namanya.
“Semoga istirahat malamnya menyenangkan yah,,,, dan ga keganggu sama kartu nama ini”,
Ucapnya sambil pergi meninggalkanku, akupun tak berkata apa-apa lagi, hanya menggelengkan kepala dan berguman “Fine”, aku bergegas ke tempat Heri, untuk kembali ke hotel.
Tiga hari sudah, aku tinggal di Jogjakarta, selama itu juga rutinitasku tetap sama, meliput dan mengirimkan hasil liputannya ke kantor pusat, meski lelah tetapi lumayan, aku bisa menginjakan kaki di beberapa tempat di Jogjakarta, tanpa harus merogoh kocek sendiri, liburan asik deh. Dibayar lagi. Sempurna pikirku.

Setelah pertemuan kedua kami di malioboro, aku dan Riyan semakin dekat dan sepanjang liputanku di Jogjakarta, hari-hariku dipenuhi dengan perhatian dari Riyan, entah itu melalui telpon, sms atau lewat sosial media. Akupun terkesan.

Malam ini, adalah malam terakhir aku di Jogjakarta. Riyan mengajaku bertemu kembali di Malioboro, katanya ingin mengajaku menyaksikan tarian api dari seniman jalanan.
Malam nya terasa begitu hangat dengan iringan tarian penari api yang menurutku fantastik, mereka seolah telah bersahabat dengan salah satu benda yang menurut sebagian orang berbahaya. Buat mereka api adalah tulang punggung atau nafas kehidupannya saat ini. Dari api lah mereka mengais rejeki.



“Ge, tau ga kenapa aku ngajak kamu, kesini ?”, tanya Riyan.
“Sepertinya, aku gak harus jawab, yah ?”, balasku.
“Hmmm, dulu, sebelum aku memiliki pekerjaan tetap seperti sekarang, aku adalah hal yang sama dengan mereka …”,
“Maksudnya…”. Potongku, penasaran
“sebenarnya, hal ini belum pernah aku ceritakan kepada siapapun, termasuk orang tuaku sendiri,,,”

Berteman langit malam Jogjakarta lengkap satu paket dengan purnama malam itu, Riyan menceritakan semua kehidupan keras yang pernah dia jalani di Malioboro ini, aku sempat terlarut dan terharu mendengar ceritanya, hampir meneteskan airmata. Bagaimana dia berjuang untuk impiannya menjadi seorang sarjana.

“Tadi, kamu bilang semua ini tak pernah diceritakan kepada siapapun, terus kenapa denganku yang baru beberapa hari kamu kenal, kamu bercerita” selaku
“Mmmm, aku juga nggak paham, kenapa bisa cerita ini semua sama kamu ge, aku ngerasa nyaman aja ceritain ini semua”, Jawabnya
“Hmm …Perempuan dewasa sepertiku, butuh jawaban yang lebih rasional dari sekedar jawaban anak ABG seperti itu”, jawabku
Jujur, sejak aku melihatmu di Bandara, aku ingin mengenalmu lebih jauh, entah sebagai apapun itu, teman, sahabat,,, atau …?”
“Atau,,, Apa ,,?”, Potongku
“Aku tak bisa melanjutkannya Ge”, Jawabnya
“Kenapa …?” Tanyaku heran
“Aku, mengidap kangker, stadium 4, dua minggu yang lalu aku diponis oleh dokter, hanya bisa bertahan tiga minggu dari malam ini,,,”, Ucap Riyan dengan nada setengah bergetar.

Aku tak berkata lagi, begitupun dengan Riyan, meski pertemuan kami sangat singkat kurang dari satu minggu, tetapi entah kenapa ketika kata-kata itu keluar dari mulut Riyan, badanku terasa menggigil, semakin lama aku semakin tak mengerti dengan perasaan yang aku rasakan saat ini, akhirnya aku memahami semua nya dengan deraian air mata.

Sempat aku menyalahkan kota yang paling aku kagumi selama ini. Kenapa mempertemukan aku dengan kebahagian yang harus berujung tangis, kenapa harus bertemu dengan seseorang yang terang-terang akan meninggalkanku. Semua berkecamuk dalam hatiku. Bahkan purnamapun seolah meredup, mengiringi suasana hatiku yang semakin lama semakin tidak menentu.
***
“Gimana ge, ada kabar baik dari sana ?”, Pesan Watsap muncul di handponeku.
“Apa yang dikhawatirkan, terjadi Ndut, gue kesini hanya mampu menemani hari-hari terakhirnya, tanpa bisa mencegahnya”.

The End

Cibaraja, 01 Juli 2016 | Cereated by : De Sur
Previous
Next Post »
Comments

Nama :
Alamat Email :
Your Coment :
EmoticonEmoticon

iklan banner