Di depan gang
masjid dekat asramaku, gerobak dorong bubur ayam itu selalu mangkal.
Bubur ayam itu dijual oleh seorang Kakek yang berumur 80 tahun. Tapi
tidak seperti kakek kebanyakan, Kakek yang akrab disapa Aki oleh para
pembeli bubur itu tampak segar bugar di usianya yang senja. Satu hal
yang aku salut darinya, beliau adalah pekerja keras. Beliau yang tua
saja masih giat bekerja, jadi rasanya tak ada alasan bagiku yang masih
muda belia untuk bermalas-malasan.
Bubur ayam Aki selalu ramai pengunjung. Meski tanpa kios, bangku-bangku plastik yang disediakannya selalu penuh. Maklum, daerah sekitar asramaku memang kawasan padat penduduk ditambah adanya kompleks yayasan pendidikan. Dari mulai TK sampai perguruan tinggi tumplek-plek di sana. Aku dan dua orang temanku termasuk pelanggan setia bubur ayam Aki. Setiap pagi, sekitar pukul 07.00 kami sudah berjalan-jalan mencari pengganjal perut dan pilihan kami selalu jatuh pada bubur ayam Aki. Hampir tiga tahun kami tinggal di asrama dan selama itu pula, ritual breakfast, kami percayakan pada bubur olahan Aki.
Dua temanku bilang bubur ayam Aki itu lain
dari yang lain, lebih enak katanya. Aku sendiri merasa bubur ayam Aki
sama saja seperti bubur ayam lain. Entahlah, menurut dua temanku itu aku
memang buruk dalam indera perasa. Mungkin memang ada sedikit
kejanggalan pada sensor lidahku. Aku sering kebingungan bagaimana rasa
dari makanan yang kurang garam, kurang gula, kurang gurih, keasinan,
kemanisan atau apalah itu. Bagiku rasanya setiap makanan yang menyentuh
lidahku rasanya enak-enak saja.
**
“Ieu kanggo neng Dinda, neng Kanya sareng
neng Ruri,” si Aki menyodorkan mangkuk berisi bubur yang menggunung
kepada kami bertiga.
“Nuhun, Ki..” jawab kami bertiga hampir berbarengan.
Pagi itu setelah berlari ke
kompleks perumahan elite, kami mendaratkan kaki di gerobak bubur ayam
Aki. Tiga tahun menjadi pelanggan Aki, beliau sudah hafal nama kami,
termasuk tipe pesanan bubur kami. Bubur dengan kecap asin yang banyak
tanpa kacang dan seledri adalah tipe bubur Dinda. Bubur tanpa suwiran
daging ayam dan kecap manis yang kental adalah tipe bubur Kanya. Aneh,
bubur ayam tanpa suwiran daging ayam? bagiku bubur tipe Kanya tak cocok
menyandang titel bubur ayam. Aku sendiri tak punya pesanan khusus.
Semangkuk bubur yang menggunung yang diracik Aki, selalu bersih tandas
ditanganku.
“Apa yah yang bikin bubur ayam Aki enak?” tanya Kanya memulai obrolan klasik yang selalu menjadi topik saat kami bersantap pagi.
“Tiga tahun kamu selalu nanya pertanyaan yang
sama dan kita belum sampai pada kesimpulan apa yang bikin bubur ayam
Aki enak,” jawab Dinda tanpa jawaban apa-apa.
Kanya terkikik. “Iya yah? kalo menurut aku
sih, bumbu kuningnya itu lohh, wuiihh mantep deh..” akhirnya Kanya
menjawab sendiri pertanyaannya dengan mulut penuh bubur.
Kening Dinda berkerut tanda berpikir, “masa? Bubur ayam Aki tuh padet, gak cair kayak bubur yang lain, jadi enak goyang lidah..”
“Goyang? Lagi sarapan apa dangdutan??” timpalku pelan merasa bosan dengan obrolan itu-itu lagi.
Kanya tertawa, “Hahaa..dasar Ruroy!”
“Ki, apa sih resep rahasianya biar bisa bikin
bubur enak?” tanya Dinda kemudian setelah tak juga menemukan jawaban
dari pertanyaan Kanya.
Aki yang tengah mengisi bubur yang mengepul
pada mangkuk-mangkuk yang berjejer pesanan pelanggan dengan sabar
menjawab pertanyaan Dinda.
“Naon atuh nya Neng, Aki ge bingung, da ngadamel bubur mah dimana-mana ge sami wae,”
Aku memperhatikan sosok yang
tak lagi muda dihadapanku itu. Satu hal yang aku kagumi lagi dari
sesosok Aki. Beliau dengan telatennya menyiapkan bubur pesanan
pelanggan. Ki, kecap asinnya sedikit aja yah, Ki tambah kecap manisnya
dong, Ki gak pake kacang yah, Ki dibungkus ya yang satu gak pake seledri
sama kacang, yang satu asin terusnya kerupuknya banyakin yah.
Macam-macam sekali permintaan pelanggan dan Aki dengan sabarnya memenuhi
kebutuhan pelanggan. Meskipun dihadapkan dengan rewelnya pelanggan,
toh, beliau tetap ramah dalam melayani setiap pelanggannya. Sungguh
bahkan dari gerobak bubur ayam, aku bisa belajar materi kuliah costumer
satisfaction.
**
Di depan gang masjid dekat asramaku, gerobak
dorong bubur ayam itu tak mangkal sejak dua bulan terakhir. Aku dan dua
orang temanku, terpaksa mengganti ritual makan pagi dengan nasi uduk di
ujung jalan sebrang pasar.
“Makan yuk, laper..” tampak Kanya sudah berdiri di depan pintu kamarku.
Aku menoleh, “yukk! Ajakin Dinda juga, Nya..”
kataku sambil meletakkan buku Tolkien yang menurut Kanya jauh lebih
efektif untuk nimpuk maling daripada untuk dibaca saking tebalnya.
“Kangen bubur ayam Aki gak sih?” tanya Dinda saat keluar asrama.
“Banget. Makanan lain kadang aku suka bosen, tapi buat bubur aki kayaknya gak ada kata bosen,” sahut Kanya mengamini.
Aku hanya mengangkat bahu, “kalian drama
banget sih, perasaan biasa aja ah. Bubur manapun juga enak menurut aku.
Bubur manapun semua punya fungsi sama, pe-nyam-bung nya-wa..” kataku
dengan penekanan di kalimat terakhir.
Kanya menarik ujung kerudungku, “karena lidah kamu gak peka sama rasa! masa makanan bau kamper aja rasanya enak-enak aja?!”
Aku nyengir, memamerkan deretan gigi kawatku,
teringat peristiwa yang semakin meyakinkan teman-teman kuliahku untuk
mendiskualifikasikan aku untuk menjadi panelis organoleptik.
“Eh, itu bubur ayam Aki!!” seru Dinda tiba-tiba.
“Mana??” sahut aku dan Kanya berbarengan.
**
Kami duduk bersampingan sambil menunggu
pesanan bubur kami siap. Bukan Aki yang tengah mengisi mangkuk-mangkuk
bubur pesanan kami. Anaknya, yang biasanya membantu Aki mencuci
mangkuk-mangkuk bekas pelanggan, kini berdiri di balik gerobak. Pagi
itu, tak seperti biasanya, bubur ayam Aki sepi pelanggan, hanya kami
betiga yang tengah duduk menanti pesanan. Setelah dua bulan tak
berjualan, aku tergelitik untuk ingin tahu.
“A, dua bulan ini gak keliatan. Jualan di tempat lain ya?” tanyaku.
Anak Aki itu hanya menjawab singkat, “enggak neng, “ jawabnya sambil masih menyiapkan pesanan kami.
“Si Akinya kemana A?” tanyaku lagi.
“Si Aki tos pupus neng, dua bulan lalu, “ jawabnya sambil menoleh ke arah kami.
Kami bertiga kaget, “Innalillahi..” seru kami berbarengan.
Aku, Dinda dan Kanya langsung terdiam. Sedikit tak percaya bahwa Aki sudah meninggal.
“Kenapa A, sakit?” tanya Kanya
“Iya neng, kena stroke! Mangga Neng, ieu buburna. Upami kirang bumbu mah, mangga candak nyalira..”
Kami mengangguk sambil meraih
mangkuk bubur yang disodorkan anak Aki. Aku makan tanpa berkata sepatah
katapun, begitupun kedua temanku. Mereka, untuk pertama kalinya
kelihatan tak berselera menyantap bubur ayam favoritnya. Entah mengapa
aku sendiri, pagi ini, merasa ada sesuatu yang berbeda dari rasa bubur
ayam Aki. Padahal seperti biasa, aku memesan bubur dengan bumbu lengkap,
tampilannya pun masih sama dengan bubur ayam Aki yang biasa aku makan
dulan bulan yang lalu. Tapi lidahku berkata, seperti ada rasa yang
kurang. Entah apa, ternyata aku masih kehilangan kepekaan rasa.
Penasaran dengan keganjilan yang aku alami, sekilas aku memperhatikan
deretan botol-botol berisi cairan bumbu bubur, rasanya tak ada yang
berbeda. Aku bingung dengan indera perasaku. Untuk pertama kali, aku tak
bisa menghabiskan semangkuk bubur ayam Aki.
“Rasanya sedikit beda ya, Din?” tanya Kanya saat kami kembali ke asrama.
Dinda mengangguk, “Iya ya? kenapa ya? mungkin
racikannya beda ya? komposisi sama, tapi kalo tangan yang ngeraciknya
lain, ya hasilnya beda. Enaknya berkurang satu level,” Dinda
menerka-nerka.
“Tapi aku kaget banget waktu tau Aki meninggal,” kata Kanya lagi.
“Iya rasanya gak percaya. Tadi juga aku liat anaknya kayaknya masih kehilangan banget,”
Dinda mengangguk lagi, tak merasa perlu berkomentar lagi.
Kanya kemudian menoleh ke arahku. “Kamu diem aja, Rur, kenapa? Masih laper?”
Aku mengangkat bahu, “gak tahu, Nya, tapi kayaknya aku tahu kenapa rasanya bubur itu jadi lain,”
“Apa?” tanya Dinda
Aku memandang kedua temanku yang menanti
jawaban, “buburnya tetep enak, tapi rasanya beda. Kenapa? Menurutku
karena bukan lagi Aki yang menyiapkan buat kita. Gak ada Aki yang biasa
kita liat saat menyantap bubur itu,” jawabku pelan.
Keduanya terdiam seolah mencerna jawabanku, tak lama mereka mengangguk. “Ya bisa jadi begitu,” sahut Dinda lirih.
Setiap hari, selama tiga tahun
kami makan pagi di tempat Aki. Menyantap bubur sambil memperhatikan
keramahannya melayani pelanggan, kesabarannya dalam memenuhi permintaan
pelanggan yang ini itu bahkan terkadang bercerita masa mudanya saat
pelanggan tak sedang banyak. Tanpa disadari, Aki muncul dalam episode
kehidupan kami, rutin, menjadi ritual pagi. Bagiku, Aki sudah seperti
kakekku sendiri dan rasanya aku kehilangan.
“ternyata ketidakhadiran seseorang bisa menghilangkan sensor rasa lidah kita,” batinku sambil terus berjalan beriringan dengan kedua temanku.
Penulis : Justhyar L.
Source :http://justhyar.tumblr.com/post/52381770639/bubur-ayam-aki
good job! inspiratif sekali... saya measih newbie ..mampir kesini yah :) http://stopbeingaloser.blogspot.com/
BalasHapusiya ... jangan lupa kunjungi juga ling penulisnya ya http://justhyar.tumblr.com/post/52381770639/bubur-ayam-aki
Hapusbagus2 karya beliau ...