Sebut aja dia Anak. Seekor kucing yang dari kecil tinggal bersama saya. Dia memiliki dua bulu kombinasi hitam dan putih, memiliki muka runcing dan badan yang tidak terlalu gemuk dan juga tak terbilang kurus.
Anak adalah sebutan yang diberikan ayah saya, saat saya tanya alasan kenapa memberi nama itu, ayah bilang karena dulu ibu kucing tersebut dipanggilnya "Indung" (sebutan ibu dalam bahasa sunda).
Semasa hidup, si Indung sangat menyayangi si Anak, pasalnya dari empat anak yang Indung lahirkan, dia satu-satunya yang tersisa di rumah saya, banyak faktor ada yang hilang begitu saja, entah pergi atau mati, ada yang dibawa saudara saya saat berkunjung karena ingin memelihara kucing, saking sayangnya sampai sudah besar si Anak masih suka nyusu kepada si Indung, entah apakah air susu si Indung masih ada atau enggak.
Saat saya memberikan makan si Indung, dia tak pernah langsung memakannya, awalnya saya dan ayah mengira si Indung sakit. Setelah makanan saya berikan dia mengeong-ngeong cukup lama, dan tak lama setelah itu si Anak datang dan mereka makan bersama.
Saat kehausan dia akan langsung ke kamar mandi dan membuka sendiri pintu kamar mandi, uniknya dia termasuk kucing yang tidak takut air. Kamipun awalnya heran bagaimana dia bisa masuk ke kamar mandi padahal pintu dalam keadaan tertutup, suatu hari saya pernah memergoki dia membuka pintu kamar mandi mendorongya dengan kepala dan badannya. Namun karena mendapat protes dari Ibuku akhirnya kami menyiapkan tempat minum khusus bekas dari kaleng cat yang diisi dengan air dan kami simpan tepat dibalik pintu kamar mandi.
Selang beberapa waktu si Indung berangsur tua, jalannya tak selincah dulu, seperti orang tua jompo, pelan, suaranya pun tak sekeras ketika masih remaja, dia juga sudah jarang ikut kami nonton tv atau membawa tikus malam-malam. Dia lebih banyak tidur di atas tempat gabah yang ada di dapur rumah kami, kalau kami panggil makan, dia turun dari tumpukan karung gabah, setelah makan dia akan naik lagi.
Setelah hilangnya si Indung kini si Anak yang menggantikan menemani kami, sifat si Anak persis menurunkan dari kelakukan si Indung, mulai dari kebiasaan saat mendapat tikus, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya.
Saya dan ayah tak pernah tahu bagaimana nasib si Indung, apakah dia mati atau kabur dan lainnya, sampai si Anak menjadi sama tua seperti si Indung kami tidak mengetahui rimbanya si Indung. Hanya ada satu hal yang kami pahami dia (si Indung) begitu setia kepada kami, dan kesetiannya itu kini dia wariskan kepada anaknya si Anak, yang membuat kami tidak merasa kehilangan teman kami menonton tv, atau mengeong-ngeong dan mengusap kaki kami kalau belum diberi makan. Mewariskan bagaimana menjaga simpanan gabah di rumah kami agar tidak di makan tikus.
Kami dan si Anak atau si Indung sama sekali tak memilki ikatan darah atau apapun, kami hanyalah binatang peliharaan dan tuannya. Tapi saat si Anak juga mati meniggalkan kami, kami merasa kehilangan, merasa ada yang kurang, ada yang kurang lengkap di rumah, terlebih saat si Anak pun mati tepat disamping saya, ketika saya sedang tidur. Ketika saya bangunkan, dia tak bernyawa lagi, saya langsung membungkus dengan kain bekas dan menguburnya.
Kini, setelah 10 tahun kejadian itu berlalu, Saya, Ayah dan kedua kucing itu berlalu, saya berdiri di depan pintu, bersama Istri dan Anak perempuan saya yang berusia 2 tahun 8 bulan, hari itu saya berkunjung ke rumah ibu karena sudah beberapa bulan tidak mengunjunginya.
Saya disambut ibu yang tampak sangat merindukan cucunya dan saat kami bercengkrama di depan sofa tetiba seekor kucing menghampiri Saya. Saat saya tanya kucing itu darimana, apakah Ibu memlihara kucing ?. Ibu menjawab tidak tahu dari mana asal kucing itu, namun yang dia ingat kucing itu datang tepat setelah 7 hari meninggalnya Ayah saya.
Kini kucing itu yang menemani keseharian ibu setiap malam, selalu mengeong meminta makan ke Ibu dan menemani tidur Ibu. Setelah lama bercerita tentang kesehariannya dengan kucing itu, saya menemukan genangan air mata dan raut muka sedih Ibu, dia teringat kembali kebersamaan kami ketika masih tinggal bersama. Saya, Ibu, Ayah si Indung dan si Anak. Ibu juga teringat akan kucing tua yang dilempar keluar karena sering berak sembarang dan menghilang entah kemana. Malah ibu sempat berguman, "Mungkin kucing ini disuruh ayahmu menemani ibu". Tutur ibu terisak. Saya pun ikut terisak mengingat kembali senyum-senyum saat bersama Ayah.
"Terkadang memang apa yang ada di sekitar kita, sering kita anggap sepele dan tak berarti apa-apa, namun besarnya kebaikan dan jasa mereka akan kita ingat dan rasakan setelah "PAHLAWAN" itu tidak lagi bersama kita".
Sebuah Cerpen Untuk Ayah
Sukabumi, 06 mei 2017
Penulis : Dede Suryana