iklan banner

Bukan Mahluk Melangit Part 1 - "Sebuah Cerpen Tentang Pertemuan Indah Yang Allah Rencanakan"

Seperti biasa, di mesjid, tempat aku memohon sketsa kehidupan terbaik kepada Allah SWT.
Ashar yang tak terlalu panas juga tidak mendung, air wudhu pun masih berjatuhan dari daguku, hanya saja hati ini tak seperti biasanya, enggan untuk melangkahkan kaki. Aku memutuskan untuk duduk sejenak di tangga.
Tidak lama hp ku berdering, “Akhi, untuk pembicara bagaimana ?”, begitulah bunyinya. Sebenarnya enggan aku membalas sms yang sudah jadi makanan sehari-hari.
Aku butuh waktu untuk memikirkan kehidupanku sendiri, bagaimana menghapus noktah hitam yang mungkin setiap detik bertambah dalam hatiku, khawatir jika dalam penghisaban nanti  ternyata hati ini telah gelap dengan maksiat yang tidak aku sadari.
“Insya Allah beliau siap untuk mengisi acara maulid”. Balasku.
“Syukron Akhi”.
Sore pun menjelang, warna jingga lukisan alam tampak, aku tiba di rumah,
“Kamu sudah Maghriban,” tegur ayahku.
“Alhamdulillah, sudah pak di mesjid kampung sebelah”, jawabku sambil memberikan martabak pesanannya.
“Coba tengok ibumu, beliau hendak bicara tadi, sambil bapak bereskan Martabak ini!”.
“Baik, Pak”. Tegasku menghampiri Ibu.
Sebelum masuk kamar Ibu pun, aku sudah menerka, bahkan sampai keluar kamar, aku membenarkan terkaan itu. Yang beliau katakan adalah tentang Jodohku yang mereka pilihkan, dan untuk kesekian kalinya aku tak memberi jawaban. Aku memilih terdiam, hanya berkata “Insya allah, jika kami berjodoh, aku ikhlas menerimanya”.
Sebenarnya aku tidak tau pasti mengapa tak menuruti keinginan orangtuaku itu, hanya saja hatiku selalu menolak untuk mengatakan “Iya”, terhadap wanita pilihan mereka. Bahkan aku juga tidak memiliki teman wanita “spesial” yang dekat saat ini. Dan akupun tidak mempunyai janji terhadap siapapun.
Pernah sesekali aku merenungkan matang-matang, menerka baik dan buruk tentang pilhan itu, dan pada kesimpulannya. Aku tetap belum siap. Padahal jika kuteropong dengan kesadaran diri. Tak cukup beralasan jika aku harus menolak niat baik oragtuaku. Umurku sudahlah mencukupi untuk membina rumah tangga, pekerjaankupun sebagai PNS sudahlah cukup untuk menghidupi Istriku nanti. Dan keseharianku mengisi ceramah di mesjid, cukuplah membuat aku “reg-reg”, untuk menjadi Imam buat istriku nanti.
Haripun berlalu, aku masih berdialog dengan gamang hati yang kadang mencuat, menjulur, menelusup kebagian terdalam hati ini. Aku harus segera menentukan pilihan, menentukan pendampingku, bukan hanya sekedar memenuhi keinginan orang tua. Terlebih untuk menyempurnakan Ibadahku.
Sepulang aku bekerja di kantor kecamatan, aku bergegas menuju tempat berikutnya, aku masih memiliki kewajiban menghadiri undangan di kampung sebelah.
Peresmian acara olahraga, ya. Undangan itulah yang harus aku hadiri karena pak Camat sedang di luar kota, jadi aku ditugaskan untuk mewakilinya.
Setelah selesai sambutan, aku memutuskan untuk menonton terlebih dahulu pertandingan. Ya Voley Ball, itulah olahraga terfavorit yang ada di daerahku, hampir setiap seminggu dua kali anak-anak muda di sekitar tempatku tinggal selalu rutin untuk latihan. Dan hajat inilah yang mereka tunggu-tunggu, untuk mengukur seberapa besar hasil latihan yang mereka jalani selama ini.
Priiiiiittt ….
Ya tanda untuk melakukan serven pertama dimulai. Toni adalah salah satu yang ada di lapangan, dia adalah teman sebayaku, semenjak SD hingga menignjak bangku SMA aku selalu satu sekolah dengannya. Sejak dari kecil temanku yang satu ini memang senang sekali sesuatu yang berbau olahraga, hampir setiap cabang olahraga dia bisa, dan selalu mendapat nilai paling tinggi saat pelajaran olahraga, bahkan jika hari minggu datang, di saat orang lain memilih untuk berlibur dan berkumpul bersama keluarga mereka, Toni lebih memilih untuk pergi ke sekolah, merapihkan bak Tenis Meja, atau menyulam Net Voli ball yang sobek.
Aku dan Toni bisa dibilang layaknya saudara, semasa sekolah, jika dia telat pulang kemaghriban karena bermain sepakbola dan diomeli orangtuanya, dia selalu kabur kerumahku. Numpang makan, numpang mandi, bahkan sampai tidur dan besoknya langsung berangkat sekolah lagi.
Kedua orangtuaku pun tak merasa aneh dengan kehadiran Toni, malah mereka senang karena Toni, selalu ramai, periang dan selalu bercanda dengan orangtuaku.
Toni adalah pemuda yang cukup tampan, lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang ustadz dan Ibunya bekerja sebagai guru di sebuah sekolah swasta.
Prittt ….
Wasit membunyikan peluit lagi, kali ini menandai telah selesainya game pertama,
“Ah, kau … ternyata kau yang membuka acara ini, kemana si gendut berkumis itu ?” tanya Toni sambil mengelap keringatnya.
“Siapa yang kau bilang si gendut berkumis …?”
“Maksudmu pak camat ?”
“Iya, siapa lagi, kalau kau ikut terus sama dia, nanti perutmu pun akan sama, buncit “
“Ah kamu bisa aja Ton,”
“Oia, kemarin, sepulang dari pabrik aku mampir kerumahmu, tapi kamu ga ada dirumah, Bapakmu bilang, suruh aku bujukin kamu, agar mau segera menikah”
“Serius, bapakku ngomong sperti itu ?”
“Serius,,, sepertinya kamu memang sudah harus menikah, ikuti jejakku !, ibadahmu belum sempurna jika belum menikah Bung“, tepuk toni sambil bergegas, karena peluit sudah dibunyikan lagi.
“Ah, seperti kamu sudah sempurna ibadah saja ?”
“Setidaknya aku sudah menunaikan salah satu sunah Rasul kita, masa kamu  hanya bisa nyuruh orang lain di mesjid untuk berumah tangga yang baik, tapi tidak mencontohkanya ?”
Aku terdiam mendengar perkataan itu, aku semakin tak menentu, yang tadinya asik menonton pertandingan, kini fikiranku entah kemana.
Aku memutuskan untuk pulang sebelum pertandingan selesai, sekarang fikiranku hanya terfokus dengan apa yang diucapkan karibku itu.
“Akhi, untuk fiksasi acara, nanti malam kita rapat di majlis, sama ketua DKM sekalian”. Sms dari kawanku tiba lagi.
“Insya allah”. Balasku.
Ba’da isya aku memutuskan untuk pulang dulu ke rumah, tidak langsung menuju majlis tempat rapat akan berlangsung.
Aku masuk kamar dan kurentangkan badan ini, memandangi lampu yang tepat berada di atas kedua mataku, kulihat kedua cecak sedang berkejar-kejaran, aku tak dapat memastikan apakah mereka satu pasang, atau bukan. Hanya yang kuterka mereka begitu asik berputar –putar di sekeliling lampu.
Anganku jauh menerobos imaji akan rumahtangga yang ditawarkan oleh kedua orangtuaku, sampai aku lupa akan kisah cecak yang bersimponi diatas langit-langit tadi, semua kenakalan yang mereka lakukan sekejap saja berganti bayangan pelaminan dan permaisuri yang mendapingiku dalam singgasana Janur Kunig, saat kata sakral yang disebut akad telah aku lafalkan.
Dan … prak … satu cecak itu terjatuh dari atap kamarku, sontak aku terkaget dan beristigfar. Cecak itu langsung melarikan diri, aku terbangun dan duduk di dipan itu, sambil kupandangi cecak satu lagi yang masih ada di atasku.
Aku tertegun, bagaimana jika atap itu adalah perumpamaan perahu rumah tanggaku dan ketika istriku terjatuh ke samudra seperti salah satu dari cecak itu, bisakah status PNS ku menjadi tali yang menjulur untuk menolongnya, atau titel Ustadzku mampu menjadi kompas saat aku nahkodai perahu rumahtanggaku nanti ?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tiba-tiba saja  muncul. Dan aku semakin tak menentu, sampai tercebur lagi akan keraguan tentang biduk rumah tangga itu, tentang ikatan suci yang terikat dengan syahadat dan mahar yang diberikan, juga tentang janji suci untuk melewati pahitnya krikil kehidupan dan manisnya kasih sayang. Sampai aku ditelan waktu aku masih belum bisa menemukan kata “siap”.
“Akhi, semua teman sedang menunggumu, begitu juga dengan ketua DKM, masih dirumah”?. Sms kembali muncul.
“Astagfirullah” (dalam hati). “Oke saya bergegas, maaf telah menunggu”. Balasku.
Setiba di majlis, benar sekali semua orang telah menungguku, tetapi setelah aku sampaikan  permohonan maaf atas keterlambatanku, mereka mengerti dan langsung mengisyaratkan untuk memulai rapat fiksasi itu. Rapat pun selesai. Hari, Biaya, Pengisi acara semua telah rampung disepakati, tinggal menanti hari eksekusi saja.
“Nak, aku perhatikan ada yang sedang kau fikirkan”, tanya ketua DKM yang sekaligus guru ngajiku semasa masih SD.
“Iya, bah”. Singkat jawabku
“Ada masalah?”
“Itu, bah, Bapak dan Ibu di rumah”.
“Tentang, Jodoh mu”.
“Abah, darimana tahu itu?”
“Tadi sore, bapakmu menemuiku, beliau hanya ingin agar kamu segera meyempurnakan ibadahmu”.
“Iya bah, saya mengerti”.
“Hmm, baiklah, jangan terlalu kau fikirkan, jodoh itu jika dikejar lari dan jika ditunggu maka akan diam, mintalah kepada-Nya, Allah telah siapkan jawaban akan kegelisahanmu”.
“Iya, bah. Terima kasih.
“Yasudah, abah pulang duluan”.
“Iya, bah, hati-hati”.
“Oia, sepulangnya dari kecamatan mampirlah kerumah abah”. Lanjut abah sambil menengok dari kejauhan.
Aku hanya mengangguk dan duduk di teras mesjid, berteman langit malam, dengan suara halus nan damai yang dimilikinya.

***
Sesuai dengan permintaan Abah Majid, selepas dari kecamatan aku sempatkan diri untuk berkunjung ke rumahnya. Tak ada yang berbeda dari rumah tersebut, sederhana, dindingnya merupakan kombinasi dari anyaman bambu dan batu bata.
Halaman yang luas dengan rimbunnya pepohonan membuat rumah itu selalu tampak asri. Aku bisa menghabiskan waktu bersama-sama teman yang lainnya di halaman luas itu sebelum Abah Majid akhirnya memanggil kami untuk memulai ngaji.
“Assalamu’alaikum,” aku mengucap salam.
Terdengar suara orang melangkah menuju daun pintu. Tak lama pintu di depanku membuka, tampak seorang perempuan berdiri di hadapanku. Aku sempat terkejut melihat wajahnya yang asing, sepertinya baru kali ini aku melihatnya.
“Wa’alaikumsalam,” sahutnya
“Abah Majidnya ada?” tanyaku tanpa berbasa-basi.
“Oh iya, silakan masuk. Tunggu sebentar, saya panggilkan,” perempuan itu kemudian mengantarkan aku duduk di ruang tamu.
Tak berapa lama, Abah Majid muncul dari dalam rumah. Beliau langsung menghambur menjabat tangan dan memelukku erat layaknya pelukan seorang ayah pada anaknya.
“Ayo, ayo duduk, San,”
Aku mengangguk kembali mengambil duduk.
“Gimana urusan di kecamatannya, sudah selesai?”
Aku tersenyum, “sudah Bah, alhamdulillah,”
Abah mengangguk, “Gar, Igar! Mana nak, minumannya, cepat bawa kemari,” Abah memanggil nama yang asing di telingaku. Setahuku Abah tak punya anak bernama Igar.
Kemudian perempuan yang tadi membukakan pintu untukku kembali dengan membawa nampan berisi dua cangkir air teh dengan setoples kue kering. Selesai meletakkan semua penganan itu, perempuan yang dipanggil Igar oleh Abah Majid kembali masuk ke dalam rumah.
Tak dapat menahan rasa penasaranku, aku memberanikan diri bertanya, “Bah, sepertinya saya baru melihat..” belum sempat aku meneruskan kalimatku, Abah sudah memotongnya.
“Dia itu Ligar, anaknya saudara ipar istri saya. Jadi apa ya namanya, Abah jadi bingung. Yah, pokoknya dia itu masih saudara,” tandas Abah dengan tawa yang khas.
“Oh,” aku mengangguk. Ligar, nama yang unik, batinku.
Suasana hening sejenak. Aku tak tahu apa yang ingin aku sampaikan. Kedatanganku kali ini murni permintaan Abah Majid. Meski aku sendiri tak tahu motif apa yang mendorong Abah untuk mengundangku ke rumahnnya, aku tak berani untuk bertanya.
“San, kerjaanmu gimana?” tanya Abah setelah hening cukup lama.
“Alhamdulillah, Bah, lancar,”
“Jadi?” pertanyaan Abah menggantung.
“Jadi?” aku mengulang kalimat Abah.
Abah tersenyum khidmat, “apa yang menghalangimu untuk tak dulu menikah?”
Pertanyaan itu lagi dan aku seperti sengaja memasuki mulut harimau dengan memenuhi undangan Abah Majid untuk ke rumahnya. Hatiku kembali tersentak. Kali ini aku sungguh tak bisa pergi kemana-mana lagi.
Aku membisu, tak dulu menjawab pertanyaan guru ngaji yang menatap menanti jawabanku. Apa yang harus ku katakan, aku sungguh tak tahu. Kembali menjawab ‘belum siap’ rasanya terlalu kekanak-kanakan untuk ku lontarkan pada seorang guru di hadapanku.
“Muhammad Ahsan,” Abah memanggil nama lengkapku. Bila beliau sudah memanggilku begitu, pertanda beliau tak main-main.
“Saa..ya belum siap, Bah,” jawabku terbata.
Abah menghela nafas, “apa yang membuatmu merasa tak siap?”
Diam yang kedua kembali memenuhiku. Kali ini aku benar-benar tak punya jawaban. Abah masih menanti jawabanku dan aku masih bergeming di tempatku duduk.
“Apa kamu tak sreg dengan wanita pilihan orang tuamu, San?”
Kini, giliranku yang menghela nafas panjang. “Sejujurnya dia perempuan baik, Bah. Dia tumbuh di lingkungan pesantren, keluarganya baik, mengerti agama, dan sudah bekerja sebagai guru di SD swasta. Hanya saja..” kalimatku menggantung.
“Kamu sudah istkharah?”
Aku mengangguk.
“Jawabannya?”
“Saya tidak tahu, Bah. Saya sendiri ragu dengan istikharah saya. Sejak awal saya sudah bertindak tidak adil pada perempuan itu. Sejak awal saya sudah mengatakan tidak pada diri saya sendiri atas perjodohan ini,”
Abah mendengarkanku dengan khidmat, “ada sosok yang kamu harapkan, San?”
Aku menatap Abah, “sejujurnya tidak ada,”
“Lalu?” tanya Abah.
“Saya tidak tahu,” jawabku menggelengkan kepala. Aku sendiri tak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan atas sosok yang akan menjadi pendampingku nanti.
“Ya sudah, Abah tak akan memaksamu untuk tergesa-gesa menikah. Tapi hidup membujang itu jauh lebih membebani dibanding khawatir akan ketidakpastian pernikahan, nak. Pikirkanlah baik-baik,”
Aku mengangguk, meresapi perkataan Abah ke dalam hati dan logikaku.
Setelah percakapan itu, aku memutuskan untuk pamit pulang. Sebelum pulang, Abah kembali merangkul erat dan berkali-kali menepuk pundakku. Sebuah rangkulan yang entah mengapa seolah memberikan energi baru untukku.
Di perjalanan pulang hingga badanku menemui ranjang, pikiranku tak henti menimbang-nimbang soal pernikahan. Rasanya baru kali inilah aku benar-benar memikirkannya. Sebelumnya entah mengapa aku merasa enggan bila berdialog dengan tema itu.
Satu hal yang aku garis bawahi, aku akan menikah, tapi tidak karena desakan orang tua, tidak karena keterpaksaan karena omongan para tetangga karena aku yang masih membujang, juga bukan karena terprovokasi oleh perkataan Abah saat di rumahnya tadi.
Aku akan menikah, mempersiapkannya, karena kesadaranku sendiri sebagai bentuk ketaatan padaNya. Malam itu, aku merombak hatiku, mengosongkannya atas semua kekhawatiran, ketakutan ataupun penolakan pada apapun yang ada dihadapanku. Penuh khidmat aku kembali menegakkan shalat istikharah, mencari jawaban atas perjodohan yang dirancang oleh kedua orang tuaku.
Pagi itu, saat hendak bersiap berangkat bekerja, Ibu menengokku dari balik pintu kamar yang sedikit membuka.
“San,” panggil Ibu.
Aku yang tengah membereskan berkas-berkas pekerjaan menoleh, “Iya, Bu?”
“Bagaimana?” tanya Ibu menghampiriku.
Aku mengerti bagaimana apa yang Ibu tanyakan. Aku meraih tangan dan menatap sosok berharga itu. “Kasih Ahsan waktu tiga hari ya Bu. Ahsan akan memberi jawaban yang pasti, tidak menggantung-gantungkan harapan kelurga di sini, terutama keluarga si perempuan,” jawabku dengan  sisa senyuman.
Ibu mengangguk, dia merapikan lipatan baju pundakku. “Hati-hati ya,”
Aku mengangguk dan mencium tangan renta itu. “Assalamu’alaikum,”
Tiga hari berlalu seperti yang ku janjikan pada Ibu. Malam itu selepas isya, seperti seorang terdakwa, Ayah dan Ibu sudah duduk di hadapanku menanti jawaban atas perjodohan itu dengan muka tegang. Sama tegangnya denganku.
"Jadi, San ... Bagaimana ?" Ibu tampak antusias bertanya.

Previous
Next Post »
Comments

Nama :
Alamat Email :
Your Coment :
EmoticonEmoticon

iklan banner