Seperti
biasa, di mesjid, tempat aku memohon sketsa kehidupan terbaik kepada Allah SWT.
Ashar yang tak terlalu panas juga tidak mendung, air wudhu pun masih berjatuhan dari daguku, hanya saja hati ini tak seperti biasanya, enggan untuk melangkahkan kaki. Aku memutuskan untuk duduk sejenak di tangga.
Ashar yang tak terlalu panas juga tidak mendung, air wudhu pun masih berjatuhan dari daguku, hanya saja hati ini tak seperti biasanya, enggan untuk melangkahkan kaki. Aku memutuskan untuk duduk sejenak di tangga.
Tidak lama hp ku berdering, “Akhi, untuk
pembicara bagaimana ?”, begitulah bunyinya. Sebenarnya enggan aku membalas sms
yang sudah jadi makanan sehari-hari.
Aku butuh waktu untuk memikirkan
kehidupanku sendiri, bagaimana menghapus noktah hitam yang mungkin setiap detik
bertambah dalam hatiku, khawatir jika dalam penghisaban nanti ternyata
hati ini telah gelap dengan maksiat yang tidak aku sadari.
“Insya Allah beliau siap untuk mengisi
acara maulid”. Balasku.
“Syukron Akhi”.
Sore pun menjelang, warna jingga lukisan
alam tampak, aku tiba di rumah,
“Kamu sudah Maghriban,” tegur ayahku.
“Alhamdulillah, sudah pak di mesjid kampung
sebelah”, jawabku sambil memberikan martabak pesanannya.
“Coba tengok ibumu, beliau hendak bicara
tadi, sambil bapak bereskan Martabak ini!”.
“Baik, Pak”. Tegasku menghampiri Ibu.
Sebelum masuk kamar Ibu pun, aku sudah
menerka, bahkan sampai keluar kamar, aku membenarkan terkaan itu. Yang beliau
katakan adalah tentang Jodohku yang mereka pilihkan, dan untuk kesekian kalinya
aku tak memberi jawaban. Aku memilih terdiam, hanya berkata “Insya allah, jika
kami berjodoh, aku ikhlas menerimanya”.
Sebenarnya aku tidak tau pasti mengapa
tak menuruti keinginan orangtuaku itu, hanya saja hatiku selalu menolak untuk
mengatakan “Iya”, terhadap wanita pilihan mereka. Bahkan aku juga tidak
memiliki teman wanita “spesial” yang dekat saat ini. Dan akupun tidak mempunyai
janji terhadap siapapun.
Pernah sesekali aku merenungkan
matang-matang, menerka baik dan buruk tentang pilhan itu, dan pada
kesimpulannya. Aku tetap belum siap. Padahal jika kuteropong dengan kesadaran
diri. Tak cukup beralasan jika aku harus menolak niat baik oragtuaku. Umurku
sudahlah mencukupi untuk membina rumah tangga, pekerjaankupun sebagai PNS
sudahlah cukup untuk menghidupi Istriku nanti. Dan keseharianku mengisi ceramah
di mesjid, cukuplah membuat aku “reg-reg”, untuk menjadi Imam buat istriku
nanti.
Haripun berlalu, aku masih berdialog
dengan gamang hati yang kadang mencuat, menjulur, menelusup kebagian terdalam
hati ini. Aku harus segera menentukan pilihan, menentukan pendampingku, bukan
hanya sekedar memenuhi keinginan orang tua. Terlebih untuk menyempurnakan
Ibadahku.
Sepulang aku bekerja di kantor
kecamatan, aku bergegas menuju tempat berikutnya, aku masih memiliki kewajiban
menghadiri undangan di kampung sebelah.
Peresmian acara olahraga, ya. Undangan
itulah yang harus aku hadiri karena pak Camat sedang di luar kota, jadi aku
ditugaskan untuk mewakilinya.
Setelah selesai sambutan, aku memutuskan
untuk menonton terlebih dahulu pertandingan. Ya Voley Ball, itulah olahraga
terfavorit yang ada di daerahku, hampir setiap seminggu dua kali anak-anak muda
di sekitar tempatku tinggal selalu rutin untuk latihan. Dan hajat inilah yang
mereka tunggu-tunggu, untuk mengukur seberapa besar hasil latihan yang mereka
jalani selama ini.
Priiiiiittt ….
Ya tanda untuk melakukan serven pertama
dimulai. Toni adalah salah satu yang ada di lapangan, dia adalah teman
sebayaku, semenjak SD hingga menignjak bangku SMA aku selalu satu sekolah
dengannya. Sejak dari kecil temanku yang satu ini memang senang sekali sesuatu
yang berbau olahraga, hampir setiap cabang olahraga dia bisa, dan selalu
mendapat nilai paling tinggi saat pelajaran olahraga, bahkan jika hari minggu
datang, di saat orang lain memilih untuk berlibur dan berkumpul bersama
keluarga mereka, Toni lebih memilih untuk pergi ke sekolah, merapihkan bak Tenis
Meja, atau menyulam Net Voli ball yang sobek.
Aku dan Toni bisa dibilang layaknya
saudara, semasa sekolah, jika dia telat pulang kemaghriban karena bermain
sepakbola dan diomeli orangtuanya, dia selalu kabur kerumahku. Numpang makan,
numpang mandi, bahkan sampai tidur dan besoknya langsung berangkat sekolah
lagi.
Kedua orangtuaku pun tak merasa aneh
dengan kehadiran Toni, malah mereka senang karena Toni, selalu ramai, periang
dan selalu bercanda dengan orangtuaku.
Toni adalah pemuda yang cukup tampan,
lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang ustadz dan Ibunya bekerja
sebagai guru di sebuah sekolah swasta.
Prittt ….
Wasit membunyikan peluit lagi, kali ini
menandai telah selesainya game pertama,
“Ah, kau … ternyata kau yang membuka
acara ini, kemana si gendut berkumis itu ?” tanya Toni sambil mengelap
keringatnya.
“Siapa yang kau bilang si gendut
berkumis …?”
“Maksudmu pak camat ?”
“Iya, siapa lagi, kalau kau ikut terus
sama dia, nanti perutmu pun akan sama, buncit “
“Ah kamu bisa aja Ton,”
“Oia, kemarin, sepulang dari pabrik aku
mampir kerumahmu, tapi kamu ga ada dirumah, Bapakmu bilang, suruh aku bujukin
kamu, agar mau segera menikah”
“Serius, bapakku ngomong sperti itu ?”
“Serius,,, sepertinya kamu memang sudah
harus menikah, ikuti jejakku !, ibadahmu belum sempurna jika belum menikah
Bung“, tepuk toni sambil bergegas, karena peluit sudah dibunyikan lagi.
“Ah, seperti kamu sudah sempurna ibadah
saja ?”
“Setidaknya aku sudah menunaikan salah
satu sunah Rasul kita, masa kamu hanya bisa nyuruh orang lain di mesjid
untuk berumah tangga yang baik, tapi tidak mencontohkanya ?”
Aku terdiam mendengar perkataan itu, aku
semakin tak menentu, yang tadinya asik menonton pertandingan, kini fikiranku
entah kemana.
Aku memutuskan untuk pulang sebelum pertandingan
selesai, sekarang fikiranku hanya terfokus dengan apa yang diucapkan karibku
itu.
“Akhi, untuk fiksasi acara, nanti malam
kita rapat di majlis, sama ketua DKM sekalian”. Sms dari kawanku tiba lagi.
“Insya allah”. Balasku.
Ba’da isya aku memutuskan untuk pulang
dulu ke rumah, tidak langsung menuju majlis tempat rapat akan berlangsung.
Aku masuk kamar dan kurentangkan badan
ini, memandangi lampu yang tepat berada di atas kedua mataku, kulihat kedua
cecak sedang berkejar-kejaran, aku tak dapat memastikan apakah mereka satu
pasang, atau bukan. Hanya yang kuterka mereka begitu asik berputar –putar di
sekeliling lampu.
Anganku jauh menerobos imaji akan
rumahtangga yang ditawarkan oleh kedua orangtuaku, sampai aku lupa akan kisah
cecak yang bersimponi diatas langit-langit tadi, semua kenakalan yang mereka
lakukan sekejap saja berganti bayangan pelaminan dan permaisuri yang
mendapingiku dalam singgasana Janur Kunig, saat kata sakral yang disebut akad
telah aku lafalkan.
Dan … prak … satu cecak itu terjatuh
dari atap kamarku, sontak aku terkaget dan beristigfar. Cecak itu langsung
melarikan diri, aku terbangun dan duduk di dipan itu, sambil kupandangi cecak
satu lagi yang masih ada di atasku.
Aku tertegun, bagaimana jika atap itu
adalah perumpamaan perahu rumah tanggaku dan ketika istriku terjatuh ke samudra
seperti salah satu dari cecak itu, bisakah status PNS ku menjadi tali yang
menjulur untuk menolongnya, atau titel Ustadzku mampu menjadi kompas saat aku
nahkodai perahu rumahtanggaku nanti ?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu
tiba-tiba saja muncul. Dan aku semakin tak menentu, sampai tercebur lagi
akan keraguan tentang biduk rumah tangga itu, tentang ikatan suci yang terikat
dengan syahadat dan mahar yang diberikan, juga tentang janji suci untuk melewati
pahitnya krikil kehidupan dan manisnya kasih sayang. Sampai aku ditelan waktu
aku masih belum bisa menemukan kata “siap”.
“Akhi, semua teman sedang menunggumu,
begitu juga dengan ketua DKM, masih dirumah”?. Sms kembali muncul.
“Astagfirullah” (dalam hati). “Oke saya
bergegas, maaf telah menunggu”. Balasku.
Setiba di majlis, benar sekali semua
orang telah menungguku, tetapi setelah aku sampaikan permohonan maaf atas
keterlambatanku, mereka mengerti dan langsung mengisyaratkan untuk memulai
rapat fiksasi itu. Rapat pun selesai. Hari, Biaya, Pengisi acara semua telah
rampung disepakati, tinggal menanti hari eksekusi saja.
“Nak, aku perhatikan ada yang sedang kau
fikirkan”, tanya ketua DKM yang sekaligus guru ngajiku semasa masih SD.
“Iya, bah”. Singkat jawabku
“Ada masalah?”
“Itu, bah, Bapak dan Ibu di rumah”.
“Tentang, Jodoh mu”.
“Abah, darimana tahu itu?”
“Tadi sore, bapakmu menemuiku, beliau
hanya ingin agar kamu segera meyempurnakan ibadahmu”.
“Iya bah, saya mengerti”.
“Hmm, baiklah, jangan terlalu kau
fikirkan, jodoh itu jika dikejar lari dan jika ditunggu maka akan diam,
mintalah kepada-Nya, Allah telah siapkan jawaban akan kegelisahanmu”.
“Iya, bah. Terima kasih.
“Yasudah, abah pulang duluan”.
“Iya, bah, hati-hati”.
“Oia, sepulangnya dari kecamatan mampirlah
kerumah abah”. Lanjut abah sambil menengok dari kejauhan.
Aku hanya mengangguk dan duduk di teras
mesjid, berteman langit malam, dengan suara halus nan damai yang dimilikinya.
***
***
Sesuai dengan permintaan Abah Majid,
selepas dari kecamatan aku sempatkan diri untuk berkunjung ke rumahnya. Tak ada
yang berbeda dari rumah tersebut, sederhana, dindingnya merupakan kombinasi
dari anyaman bambu dan batu bata.
Halaman yang luas dengan rimbunnya
pepohonan membuat rumah itu selalu tampak asri. Aku bisa menghabiskan waktu
bersama-sama teman yang lainnya di halaman luas itu sebelum Abah Majid akhirnya
memanggil kami untuk memulai ngaji.
“Assalamu’alaikum,” aku mengucap salam.
Terdengar suara orang melangkah menuju
daun pintu. Tak lama pintu di depanku membuka, tampak seorang perempuan berdiri
di hadapanku. Aku sempat terkejut melihat wajahnya yang asing, sepertinya baru
kali ini aku melihatnya.
“Wa’alaikumsalam,” sahutnya
“Abah Majidnya ada?” tanyaku tanpa
berbasa-basi.
“Oh iya, silakan masuk. Tunggu sebentar,
saya panggilkan,” perempuan itu kemudian mengantarkan aku duduk di ruang tamu.
Tak berapa lama, Abah Majid muncul dari
dalam rumah. Beliau langsung menghambur menjabat tangan dan memelukku erat
layaknya pelukan seorang ayah pada anaknya.
“Ayo, ayo duduk, San,”
Aku mengangguk kembali mengambil duduk.
“Gimana urusan di kecamatannya, sudah
selesai?”
Aku tersenyum, “sudah Bah,
alhamdulillah,”
Abah mengangguk, “Gar, Igar! Mana nak,
minumannya, cepat bawa kemari,” Abah memanggil nama yang asing di telingaku. Setahuku
Abah tak punya anak bernama Igar.
Kemudian perempuan yang tadi membukakan
pintu untukku kembali dengan membawa nampan berisi dua cangkir air teh dengan
setoples kue kering. Selesai meletakkan semua penganan itu, perempuan yang
dipanggil Igar oleh Abah Majid kembali masuk ke dalam rumah.
Tak dapat menahan rasa penasaranku, aku
memberanikan diri bertanya, “Bah, sepertinya saya baru melihat..” belum sempat
aku meneruskan kalimatku, Abah sudah memotongnya.
“Dia itu Ligar, anaknya saudara ipar
istri saya. Jadi apa ya namanya, Abah jadi bingung. Yah, pokoknya dia itu masih
saudara,” tandas Abah dengan tawa yang khas.
“Oh,” aku mengangguk. Ligar, nama yang
unik, batinku.
Suasana hening sejenak. Aku tak tahu apa
yang ingin aku sampaikan. Kedatanganku kali ini murni permintaan Abah Majid.
Meski aku sendiri tak tahu motif apa yang mendorong Abah untuk mengundangku ke
rumahnnya, aku tak berani untuk bertanya.
“San, kerjaanmu gimana?” tanya Abah
setelah hening cukup lama.
“Alhamdulillah, Bah, lancar,”
“Jadi?” pertanyaan Abah menggantung.
“Jadi?” aku mengulang kalimat Abah.
Abah tersenyum khidmat, “apa yang
menghalangimu untuk tak dulu menikah?”
Pertanyaan itu lagi dan aku seperti
sengaja memasuki mulut harimau dengan memenuhi undangan Abah Majid untuk ke
rumahnya. Hatiku kembali tersentak. Kali ini aku sungguh tak bisa pergi
kemana-mana lagi.
Aku membisu, tak dulu menjawab
pertanyaan guru ngaji yang menatap menanti jawabanku. Apa yang harus ku
katakan, aku sungguh tak tahu. Kembali menjawab ‘belum siap’ rasanya terlalu
kekanak-kanakan untuk ku lontarkan pada seorang guru di hadapanku.
“Muhammad Ahsan,” Abah memanggil nama
lengkapku. Bila beliau sudah memanggilku begitu, pertanda beliau tak main-main.
“Saa..ya belum siap, Bah,” jawabku
terbata.
Abah menghela nafas, “apa yang membuatmu
merasa tak siap?”
Diam yang kedua kembali memenuhiku. Kali
ini aku benar-benar tak punya jawaban. Abah masih menanti jawabanku dan aku
masih bergeming di tempatku duduk.
“Apa kamu tak sreg dengan wanita pilihan
orang tuamu, San?”
Kini, giliranku yang menghela nafas
panjang. “Sejujurnya dia perempuan baik, Bah. Dia tumbuh di lingkungan
pesantren, keluarganya baik, mengerti agama, dan sudah bekerja sebagai guru di
SD swasta. Hanya saja..” kalimatku menggantung.
“Kamu sudah istkharah?”
Aku mengangguk.
“Jawabannya?”
“Saya tidak tahu, Bah. Saya sendiri ragu
dengan istikharah saya. Sejak awal saya sudah bertindak tidak adil pada
perempuan itu. Sejak awal saya sudah mengatakan tidak pada diri saya sendiri
atas perjodohan ini,”
Abah mendengarkanku dengan khidmat, “ada
sosok yang kamu harapkan, San?”
Aku menatap Abah, “sejujurnya tidak
ada,”
“Lalu?” tanya Abah.
“Saya tidak tahu,” jawabku menggelengkan
kepala. Aku sendiri tak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan atas sosok yang akan
menjadi pendampingku nanti.
“Ya sudah, Abah tak akan memaksamu untuk
tergesa-gesa menikah. Tapi hidup membujang itu jauh lebih membebani dibanding
khawatir akan ketidakpastian pernikahan, nak. Pikirkanlah baik-baik,”
Aku mengangguk, meresapi perkataan Abah
ke dalam hati dan logikaku.
Setelah percakapan itu, aku memutuskan
untuk pamit pulang. Sebelum pulang, Abah kembali merangkul erat dan
berkali-kali menepuk pundakku. Sebuah rangkulan yang entah mengapa seolah
memberikan energi baru untukku.
Di perjalanan pulang hingga badanku
menemui ranjang, pikiranku tak henti menimbang-nimbang soal pernikahan. Rasanya
baru kali inilah aku benar-benar memikirkannya. Sebelumnya entah mengapa aku
merasa enggan bila berdialog dengan tema itu.
Satu hal yang aku garis bawahi, aku akan
menikah, tapi tidak karena desakan orang tua, tidak karena keterpaksaan karena
omongan para tetangga karena aku yang masih membujang, juga bukan karena
terprovokasi oleh perkataan Abah saat di rumahnya tadi.
Aku akan menikah, mempersiapkannya,
karena kesadaranku sendiri sebagai bentuk ketaatan padaNya. Malam itu, aku
merombak hatiku, mengosongkannya atas semua kekhawatiran, ketakutan ataupun
penolakan pada apapun yang ada dihadapanku. Penuh khidmat aku kembali
menegakkan shalat istikharah, mencari jawaban atas perjodohan yang dirancang
oleh kedua orang tuaku.
Pagi itu, saat hendak bersiap berangkat
bekerja, Ibu menengokku dari balik pintu kamar yang sedikit membuka.
“San,” panggil Ibu.
Aku yang tengah membereskan
berkas-berkas pekerjaan menoleh, “Iya, Bu?”
“Bagaimana?” tanya Ibu menghampiriku.
Aku mengerti bagaimana apa yang Ibu
tanyakan. Aku meraih tangan dan menatap sosok berharga itu. “Kasih Ahsan waktu
tiga hari ya Bu. Ahsan akan memberi jawaban yang pasti, tidak
menggantung-gantungkan harapan kelurga di sini, terutama keluarga si
perempuan,” jawabku dengan sisa senyuman.
Ibu mengangguk, dia merapikan lipatan
baju pundakku. “Hati-hati ya,”
Aku mengangguk dan mencium tangan renta
itu. “Assalamu’alaikum,”
Tiga hari berlalu seperti yang ku
janjikan pada Ibu. Malam itu selepas isya, seperti seorang terdakwa, Ayah dan
Ibu sudah duduk di hadapanku menanti jawaban atas perjodohan itu dengan muka
tegang. Sama tegangnya denganku.
"Jadi, San ... Bagaimana ?" Ibu tampak antusias bertanya.
"Jadi, San ... Bagaimana ?" Ibu tampak antusias bertanya.