iklan banner

Bukan Mahluk Melangit Part 2 - "Sebuah Cerpen Tentang Pertemuan Indah Yang Allah Rencanakan"

Aku menarik nafas perlahan, seolah mencari kekuatan terlebih dahulu untuk mengatakan jawaban yang sudah ku persiapkan seharian ini. “Maaf, Bu,” kata itulah yang keluar dari mulutku.
“Apa?” tanya Bapak meminta kejelasan.
“Ahsan menolak perjodohan itu,” sahutku mantap.
Tampak keterkejutan menyemburat di kedua wajah orang tuaku.
“Kamu sudah mempertimbangkannya baik-baik?” tanya Ibu.
Aku mengangguk.
“Kenapa? Dia perempuan baik, berasal dari keluarga terpandang, jebolan pesantren dan hidupnya juga sudah mapan. Lalu kenapa?” tanya Bapak dengan nada yang sedikit meninggi.
“Iya, Ahsan sadar itu semua. Ahsan sudah mempertimbangkan, tapi Ahsan tidak menemukan ketertarikan saat melihat perempuan itu,”
“Cuma itu? Bapak kira kamu tahu bahwa agama dan akhlak adalah alasan utama memilih pasangan. Ketertarikan? Kamu seperti anak ingusan dengan alasan seperti itu,”
Aku menghela nafas panjang, “Ahsan tahu, Pak. Tapi bukankah Allah pun tidak mengabaikan kepentingan manusiawi. Ahsan hanya takut malah berbalik kufur nikmat karena tak bisa menerima perempuan itu apa adanya,”
Bapak dan Ibu terdiam mendengarkan penjelasan. “Ahsan akan menikah, dengan wanita pilihan Ahsan sendiri. Insya allah. Mohon doa dari Bapak dan Ibu agar Ahsan diberikan jodoh yang terbaik,” jawabku mengakhiri pertemuan itu.
Kedua orang tuaku membisu, mereka sepertinya tak lagi berhasrat untuk menyahutiku. Akupun izin pamit ke kamar. Di dalam kamar aku memikirkan kembali keputusanku. Wanita itu, meski aku belum mengenalnya dekat, memang baik, tapi sebagian wajahnya berwarna pirang dan ternyata kakeknya terdahulu memang seorang albino.
Mungkin benar kata Bapak bahwa alasan ketertarikan sangat kekanakan bagiku. Tapi aku tak yakin bisa ikhlas dengan kondisi istriku yang demikian. Aku hanya khawatir tak bisa memenuhi hak-hak istriku kelak karena ketidakikhlasanku menerima kondisinya. Semoga engkau mendapatkan suami yang jauh lebih bisa menerimamu, bisik hatiku merangkai doa untuk wanita itu.
Sebulan berlalu dari penolakan perjodohan itu. Selepas shalat Isya berjamaah di masjid aku menghampiri Abah Majid yang masih duduk khusyuk di sadajahnya.
“Bah, saya ingin menikah,” kataku tanpa prolog apapun.
Abah yang tengah berdzikir, terhenti dan memandang ke arahku.
“Kamu sudah siap?”
Aku mengangguk mantap.
Abah masih menatapku.
“Tolong cari kan saya istri, Bah,” pintaku kemudian.
“Kamu yakin?”
Aku kembali mengangguk mantap.
“Apa kriteriamu, San?”
“Saya tidak punya kriteria apa-apa, Bah. Selama perempuan itu baik dan menerima saya apa adanya,”
Abah tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku. “Insya Allah Abah bantu carikan,” jawabnya.
Satu, dua, tiga minggu Abah Majid belum juga memberi kabar dan tak juga mengungkit-ungkit perihal permintaanku. Nyaris aku menyerah untuk meminta bantuan pada beliau. Tetapi sore itu, selepas aku pulang bekerja, Abah Majid memanggilku dari halaman rumahnya.
“Iya, Bah?”
“Ada yang ingin Abah sampaikan soal permintaanku sebulan yang lalu,”
Dalam hati aku beryukur luar biasa, “jadi bagaimana, Bah?”
Abah menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaanku, “satu minggu yang lalu ada seorang wanita yang meminta Abah untuk dicarikan suami. Awalnya Abah tak berpikir untuk menawarkannya padamu, tetapi setelah Abah pertimbangkan, tak ada keburukan satupun yang menghalangi penawaran itu,”
Hatiku berdegup tak beraturan mendengar penuturan Abah, “Insya Allah saya percaya pada pilihan Abah,”
Abah tersenyum, “iya, tapi kamu pun berhak mempertimbangkannya. Wanita ini empat tahun lebih muda dari kamu. Sekolahnya hanya sebatas SMA dan sama sekali tak mengenal bangku pesantren. Dia tinggal dengan saudara jauhnya dan sehari-hari dia membantu saudaranya berjualan. Dia bukan aktivis sepertimu, San,” cerita Abah sambil menekankan nada pada kalimat terakhirnya.
Aku tersenyum merasa tersindir, “saya bukan aktivis, Bah, tapi aktebal,” selorohku menutupi kegugupan.
“Dia pernah bekerja sebagai caddy tapi hanya enam bulan dia berhenti karena mendapat perlakuan tak baik dari para tamu. Dia baru belajar mengenakan jilbab sekitar tiga bulan terakhir. Untuk shalat wajibnya alhamdulillah terjaga,”
Aku mendengar penuturan Abah dengan hati yang entah seperti apa. Aku memang tak menetapkan kriteria apapun, tapi entah mengapa mendengar kalimat per kalimat yang dilontarkan Abah seolah membuatku terpental.
Abah sudah selesai menerangkan calon istri pilihannya untukku dan aku masih membisu di tempatku duduk di bale halaman rumahnya.
“Abah ceritakan ini padamu sebagai pertimbangan. Abah tahu mungkin kamu menginginkan istri yang sepadan denganmu, dalam pendidikan, pengetahuan, status sosial dan agama. Perempuan ini baik dan dia meminta Abah untuk dicarikan suami yang sholih agar bisa menuntunnya menjadi perempuan yang sholih. Dia menikah untuk menjaga dan memperbaiki dirinya. Atas alasan inilah Abah mencoba menawarkannya padamu,”
Aku makin membisu dengan penjelasan Abah Majid. Tubuhku serasa dipaku ditempat. Banyak hal berseliweran dalam benakku.
“Ahsan, bagaimana? Abah tak memaksamu untuk menerima tawaran ini. Pikirkan dengan baik. Abah akan tunggu jawabanmu,”
“Saya akan memikirkannya, Bah,” jawabku singkat.
Atas jodoh pilihan Abah Majid, malam itu aku menceritakannya pada Ibu seperti apa yang telingaku sudah dengar dari penuturan Abah.
“Bagaimana menurut Ibu?” tanyaku di akhir cerita.
Ibu meraih tanganku dan mengusap-ngusapnya. “Apapun keputusanmu, Ibu pasti akan mendukung. Masalah tingkat pendidikan, status sosial atau apa, Ibu tak terlalu mempersoalkannya dan Ibu yakin Bapakmu juga begitu. Selama perempuan itu baik, ada kemauan dari dalam dirinya untuk menjadi pribadi yang semakin baik dan kamu mencintainya, Ibu akan setuju,”
Aku tersenyum meski masih begitu banyak keraguan yang menggumul di hatiku.
“Kalau kamu masih ragu, tanyakan pada Allah, San. Minta petunjukNya. Dia maha luas penglihatannya, Dia jauh lebih tahu apa yang terbaik untukmu, Dia jauh lebih tahu ukuran kepantasan bagi setiap hambaNya,” tutur Ibu lagi seolah tahu apa yang membebani pikiranku.
Aku mengangguk dan mencium tangan Ibu. Ibu kemudian meraih kepalaku dan mengelus-elusnya lembut.
Dua minggu berlalu, sore itu hari Minggu, aku bertandang ke rumah Abah Majid untuk memberikan jawabanku. Meski masih sedikit ada ketakutan untuk menikah dan berrumah tangga, aku membulatkan tekad untuk menjalani setiap proses dengan sebaik-baiknya dan menyerahkan keputusannya pada Allah.
Kini tak ada alasan untuk aku tak kunjung meminang seorang perempuan. Aku sudah cukup mapan, secara ruhiyah dan fisik aku pun sudah terbilang siap. Teringat perkataan Ibu sewaktu aku meminta izin untuk melibatkan Abah Majid dalam mencari pasangan hidup. Nasihat yang membuat hati dan pikiranku terbuka lebar. Selama ini aku disadarkan bahwa ketidaksiapanku tanpa alasan dan aku telah begitu alpanya dengan mengabaikan kekuasaanNya.
Apa yang membuatmu tak juga meminang wanita, nak? Kalau hanya alasan ketidaksiapan karena rasa khawatir dan takut soal berrumah tangga, apa kamu lupa dengan pertolongan Allah? Allah akan menjamin rezeki siapa saja yang menikah demi menjaga kehormatan dirinya. Ibu khawatir kamu bersikap begini, tanpa sadar telah mendzalimi muslimah-muslimah di luar sana yang susah payah menjaga kesuciannya.
Sibuk dengan pikiranku yang melanglang buana, tak sadar aku sudah berada di depan pintu rumah Abah Majid.
“Assalamu’alaikum,”
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Pintu di depanku kemudian membuka. Seorang perempuan berjilbab merah menyambut di hadapanku. Aku tak lagi terkejut melihat wajah asingnya seperti saat pertama kali dia membukakan pintu untukku. Perempuan itu Ligar, saudara jauh Abah Majid yang beberapa bulan terakhir ini tinggal di rumah Abah.
“Abah Majidnya ada ?”
Perempuan itu mengangguk lalu mempersilakan aku duduk, “tunggu sebentar, saya panggilkan dulu,”
Aku mengangguk. Seperti de ja vu, tak lama Abah Majid keluar dari dalam rumah.
Abah tersenyum dan meraih tanganku. “Gimana kabarmu, San?”
“Alhamdulillah baik,”
Abah mengangguk sambil membenarkan letak kacamatanya, “jadi bagaimana, San? Sudah kamu pertimbangkan?”
Aku mengangguk.
Abah menatap menanti jawabanku.
“Insya Allah saya siap, Bah. Saya akan meminang perempuan rekomendasi Abah.” Sahutku mantap.
“Alhamdulillah,” seru Abah. “Ya sudah, sekarang saja kita beritahu pihak wanitanya. Biar lebih cepat berproses. Insya allah dengan niat menyegerakan kebaikan akan menjadi barakah,”
Aku terkejut mendengar penuturan abah. Sejujurnya aku tak merencanakan untuk menemui sang pihak perempuan saat ini juga. “Tapi, Bah,”
“Gar, Ligar, mana minumannya? Cepat bawa kemari,” Abah memanggil Ligar seolah tak mendengar perkataanku.
Tak berapa lama Ligar datang dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh dan setoples kue kering.
“Ligar, kemari, nak, Abah mau bicara,”
Ligar yang sudah hendak melangkah pergi menahan kakinya. Dia mengangguk dan duduk di samping Abah Majid.
“Abah sudah mencarikan calon suami untukmu dan alhamdulillah, dia bersedia menikah denganmu,” tutur Abah.
Ligar mengangkat wajahnya, menatap Abah dengan tatapan tak percaya. Sama halnya denganku yang terkejut luar biasa. Aku menatap Abah memohon penjelasan.
“San, calon istrimu adalah Ligar, saudara yang sudah Abah anggap anak sendiri. Abah memintamu melihatnya untuk sekedar memberikan kemantapan atas keyakinanmu agar kamu tak menyesal nantinya,”
Aku masih bergeming. Tak percaya dengan semua konstelasi ini. Aku sama sekali tak berpikir bahwa calon istri yang dipilihkan Abah adalah sosok perempuan yang selalu membukakan pintu setiap kali aku bertamu ke rumahnya.
“Aaa..bah,” suara Ligar tercekat. Perempuan itu bergantian menatap Abah lalu melihat ke arahku. Saat itulah secara tak sengaja mataku beradu dengan matanya. Perempuan sederhana itu kemudian mengalihkan pandangannya. Entah mengapa adu pandang sekilas itu menimbulkan getaran aneh dalam hatiku.
“Bagaimana, San? Abah bertanya padamu untuk yang kedua. Kamu masih mau berproses dengan Ligar?”
Hening sejenak, aku tak dulu menjawab. Ini diluar dugaanku, diluar harapanku akan sosok calon istriku. Ligar memang tak begitu cantik, tapi wajahnya teduh dan sederhana. Selama ini setiap kali aku bertamu ke rumah Abah, aku tak menemukan keburukan akhlaknya. Aku menarik nafas, secara bergantian aku memandang Ligar, lalu Abah. “Biidzinillah, Bah. Saya siap meminang Ligar,”

Ditulis bersama oleh : 
Dede Suryana & Thya Larasaty 
Previous
Next Post »
Comments

Nama :
Alamat Email :
Your Coment :
EmoticonEmoticon

iklan banner