“Apa?” tanya Bapak meminta kejelasan.
“Ahsan menolak perjodohan itu,” sahutku mantap.
Tampak keterkejutan menyemburat di kedua wajah orang
tuaku.
“Kamu sudah mempertimbangkannya baik-baik?” tanya Ibu.
Aku mengangguk.
“Kenapa? Dia perempuan baik, berasal dari keluarga
terpandang, jebolan pesantren dan hidupnya juga sudah mapan. Lalu kenapa?”
tanya Bapak dengan nada yang sedikit meninggi.
“Iya, Ahsan sadar itu semua. Ahsan sudah
mempertimbangkan, tapi Ahsan tidak menemukan ketertarikan saat melihat
perempuan itu,”
“Cuma itu? Bapak kira kamu tahu bahwa agama dan akhlak adalah
alasan utama memilih pasangan. Ketertarikan? Kamu seperti anak ingusan dengan
alasan seperti itu,”
Aku menghela nafas panjang, “Ahsan tahu, Pak. Tapi
bukankah Allah pun tidak mengabaikan kepentingan manusiawi. Ahsan hanya takut
malah berbalik kufur nikmat karena tak bisa menerima perempuan itu apa adanya,”
Bapak dan Ibu terdiam mendengarkan penjelasan. “Ahsan
akan menikah, dengan wanita pilihan Ahsan sendiri. Insya allah. Mohon doa dari
Bapak dan Ibu agar Ahsan diberikan jodoh yang terbaik,” jawabku mengakhiri
pertemuan itu.
Kedua orang tuaku membisu, mereka sepertinya tak lagi
berhasrat untuk menyahutiku. Akupun izin pamit ke kamar. Di dalam kamar aku
memikirkan kembali keputusanku. Wanita itu, meski aku belum mengenalnya dekat,
memang baik, tapi sebagian wajahnya berwarna pirang dan ternyata kakeknya
terdahulu memang seorang albino.
Mungkin benar kata Bapak bahwa alasan ketertarikan sangat
kekanakan bagiku. Tapi aku tak yakin bisa ikhlas dengan kondisi istriku yang
demikian. Aku hanya khawatir tak bisa memenuhi hak-hak istriku kelak karena
ketidakikhlasanku menerima kondisinya. Semoga engkau mendapatkan suami
yang jauh lebih bisa menerimamu, bisik hatiku merangkai doa untuk wanita
itu.
Sebulan berlalu dari penolakan perjodohan itu. Selepas
shalat Isya berjamaah di masjid aku menghampiri Abah Majid yang masih duduk
khusyuk di sadajahnya.
“Bah, saya ingin menikah,” kataku tanpa prolog apapun.
Abah yang tengah berdzikir, terhenti dan memandang ke
arahku.
“Kamu sudah siap?”
Aku mengangguk mantap.
Abah masih menatapku.
“Tolong cari kan saya istri, Bah,” pintaku kemudian.
“Kamu yakin?”
Aku kembali mengangguk mantap.
“Apa kriteriamu, San?”
“Saya tidak punya kriteria apa-apa, Bah. Selama perempuan
itu baik dan menerima saya apa adanya,”
Abah tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku. “Insya
Allah Abah bantu carikan,” jawabnya.
Satu, dua, tiga minggu Abah Majid belum juga memberi
kabar dan tak juga mengungkit-ungkit perihal permintaanku. Nyaris aku menyerah
untuk meminta bantuan pada beliau. Tetapi sore itu, selepas aku pulang bekerja,
Abah Majid memanggilku dari halaman rumahnya.
“Iya, Bah?”
“Ada yang ingin Abah sampaikan soal permintaanku sebulan
yang lalu,”
Dalam hati aku beryukur luar biasa, “jadi bagaimana,
Bah?”
Abah menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaanku,
“satu minggu yang lalu ada seorang wanita yang meminta Abah untuk dicarikan
suami. Awalnya Abah tak berpikir untuk menawarkannya padamu, tetapi setelah
Abah pertimbangkan, tak ada keburukan satupun yang menghalangi penawaran itu,”
Hatiku berdegup tak beraturan mendengar penuturan Abah,
“Insya Allah saya percaya pada pilihan Abah,”
Abah tersenyum, “iya, tapi kamu pun berhak
mempertimbangkannya. Wanita ini empat tahun lebih muda dari kamu. Sekolahnya
hanya sebatas SMA dan sama sekali tak mengenal bangku pesantren. Dia tinggal
dengan saudara jauhnya dan sehari-hari dia membantu saudaranya berjualan. Dia
bukan aktivis sepertimu, San,” cerita Abah sambil menekankan nada pada kalimat
terakhirnya.
Aku tersenyum merasa tersindir, “saya bukan aktivis, Bah,
tapi aktebal,” selorohku menutupi kegugupan.
“Dia pernah bekerja sebagai caddy tapi hanya enam bulan
dia berhenti karena mendapat perlakuan tak baik dari para tamu. Dia baru
belajar mengenakan jilbab sekitar tiga bulan terakhir. Untuk shalat wajibnya
alhamdulillah terjaga,”
Aku mendengar penuturan Abah dengan hati yang entah
seperti apa. Aku memang tak menetapkan kriteria apapun, tapi entah mengapa
mendengar kalimat per kalimat yang dilontarkan Abah seolah membuatku terpental.
Abah sudah selesai menerangkan calon istri pilihannya
untukku dan aku masih membisu di tempatku duduk di bale halaman rumahnya.
“Abah ceritakan ini padamu sebagai pertimbangan. Abah
tahu mungkin kamu menginginkan istri yang sepadan denganmu, dalam pendidikan,
pengetahuan, status sosial dan agama. Perempuan ini baik dan dia meminta Abah
untuk dicarikan suami yang sholih agar bisa menuntunnya menjadi perempuan yang
sholih. Dia menikah untuk menjaga dan memperbaiki dirinya. Atas alasan inilah
Abah mencoba menawarkannya padamu,”
Aku makin membisu dengan penjelasan Abah Majid. Tubuhku
serasa dipaku ditempat. Banyak hal berseliweran dalam benakku.
“Ahsan, bagaimana? Abah tak memaksamu untuk menerima
tawaran ini. Pikirkan dengan baik. Abah akan tunggu jawabanmu,”
“Saya akan memikirkannya, Bah,” jawabku singkat.
Atas jodoh pilihan Abah Majid, malam itu aku
menceritakannya pada Ibu seperti apa yang telingaku sudah dengar dari penuturan
Abah.
“Bagaimana menurut Ibu?” tanyaku di akhir cerita.
Ibu meraih tanganku dan mengusap-ngusapnya. “Apapun
keputusanmu, Ibu pasti akan mendukung. Masalah tingkat pendidikan, status
sosial atau apa, Ibu tak terlalu mempersoalkannya dan Ibu yakin Bapakmu juga
begitu. Selama perempuan itu baik, ada kemauan dari dalam dirinya untuk menjadi
pribadi yang semakin baik dan kamu mencintainya, Ibu akan setuju,”
Aku tersenyum meski masih begitu banyak keraguan yang
menggumul di hatiku.
“Kalau kamu masih ragu, tanyakan pada Allah, San. Minta
petunjukNya. Dia maha luas penglihatannya, Dia jauh lebih tahu apa yang terbaik
untukmu, Dia jauh lebih tahu ukuran kepantasan bagi setiap hambaNya,” tutur Ibu
lagi seolah tahu apa yang membebani pikiranku.
Aku mengangguk dan mencium tangan Ibu. Ibu kemudian
meraih kepalaku dan mengelus-elusnya lembut.
Dua minggu berlalu, sore itu hari Minggu, aku bertandang
ke rumah Abah Majid untuk memberikan jawabanku. Meski masih sedikit ada
ketakutan untuk menikah dan berrumah tangga, aku membulatkan tekad untuk
menjalani setiap proses dengan sebaik-baiknya dan menyerahkan keputusannya pada
Allah.
Kini tak ada alasan untuk aku tak kunjung meminang
seorang perempuan. Aku sudah cukup mapan, secara ruhiyah dan fisik aku pun
sudah terbilang siap. Teringat perkataan Ibu sewaktu aku meminta izin untuk
melibatkan Abah Majid dalam mencari pasangan hidup. Nasihat yang membuat hati
dan pikiranku terbuka lebar. Selama ini aku disadarkan bahwa ketidaksiapanku
tanpa alasan dan aku telah begitu alpanya dengan mengabaikan kekuasaanNya.
Apa yang membuatmu tak juga meminang wanita, nak? Kalau
hanya alasan ketidaksiapan karena rasa khawatir dan takut soal berrumah tangga,
apa kamu lupa dengan pertolongan Allah? Allah akan menjamin rezeki siapa saja
yang menikah demi menjaga kehormatan dirinya. Ibu khawatir kamu bersikap
begini, tanpa sadar telah mendzalimi muslimah-muslimah di luar sana yang susah
payah menjaga kesuciannya.
Sibuk dengan pikiranku yang melanglang buana, tak sadar
aku sudah berada di depan pintu rumah Abah Majid.
“Assalamu’alaikum,”
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Pintu di depanku
kemudian membuka. Seorang perempuan berjilbab merah menyambut di hadapanku. Aku
tak lagi terkejut melihat wajah asingnya seperti saat pertama kali dia
membukakan pintu untukku. Perempuan itu Ligar, saudara jauh Abah Majid yang
beberapa bulan terakhir ini tinggal di rumah Abah.
“Abah Majidnya ada ?”
Perempuan itu mengangguk lalu mempersilakan aku duduk,
“tunggu sebentar, saya panggilkan dulu,”
Aku mengangguk. Seperti de ja vu, tak lama Abah Majid
keluar dari dalam rumah.
Abah tersenyum dan meraih tanganku. “Gimana kabarmu,
San?”
“Alhamdulillah baik,”
Abah mengangguk sambil membenarkan letak kacamatanya,
“jadi bagaimana, San? Sudah kamu pertimbangkan?”
Aku mengangguk.
Abah menatap menanti jawabanku.
“Insya Allah saya siap, Bah. Saya akan meminang perempuan
rekomendasi Abah.” Sahutku mantap.
“Alhamdulillah,” seru Abah. “Ya sudah, sekarang saja kita
beritahu pihak wanitanya. Biar lebih cepat berproses. Insya allah dengan niat
menyegerakan kebaikan akan menjadi barakah,”
Aku terkejut mendengar penuturan abah. Sejujurnya aku tak
merencanakan untuk menemui sang pihak perempuan saat ini juga. “Tapi, Bah,”
“Gar, Ligar, mana minumannya? Cepat bawa kemari,” Abah
memanggil Ligar seolah tak mendengar perkataanku.
Tak berapa lama Ligar datang dengan membawa nampan berisi
dua cangkir teh dan setoples kue kering.
“Ligar, kemari, nak, Abah mau bicara,”
Ligar yang sudah hendak melangkah pergi menahan kakinya.
Dia mengangguk dan duduk di samping Abah Majid.
“Abah sudah mencarikan calon suami untukmu dan
alhamdulillah, dia bersedia menikah denganmu,” tutur Abah.
Ligar mengangkat wajahnya, menatap Abah dengan tatapan
tak percaya. Sama halnya denganku yang terkejut luar biasa. Aku menatap Abah
memohon penjelasan.
“San, calon istrimu adalah Ligar, saudara yang sudah Abah
anggap anak sendiri. Abah memintamu melihatnya untuk sekedar memberikan
kemantapan atas keyakinanmu agar kamu tak menyesal nantinya,”
Aku masih bergeming. Tak percaya dengan semua konstelasi
ini. Aku sama sekali tak berpikir bahwa calon istri yang dipilihkan Abah adalah
sosok perempuan yang selalu membukakan pintu setiap kali aku bertamu ke
rumahnya.
“Aaa..bah,” suara Ligar tercekat. Perempuan itu
bergantian menatap Abah lalu melihat ke arahku. Saat itulah secara tak sengaja
mataku beradu dengan matanya. Perempuan sederhana itu kemudian mengalihkan
pandangannya. Entah mengapa adu pandang sekilas itu menimbulkan getaran aneh
dalam hatiku.
“Bagaimana, San? Abah bertanya padamu untuk yang kedua.
Kamu masih mau berproses dengan Ligar?”
Hening sejenak, aku tak dulu menjawab. Ini diluar
dugaanku, diluar harapanku akan sosok calon istriku. Ligar memang tak begitu
cantik, tapi wajahnya teduh dan sederhana. Selama ini setiap kali aku bertamu
ke rumah Abah, aku tak menemukan keburukan akhlaknya. Aku menarik nafas, secara
bergantian aku memandang Ligar, lalu Abah. “Biidzinillah, Bah. Saya siap
meminang Ligar,”
Ditulis bersama oleh :
Dede Suryana & Thya Larasaty
Dede Suryana & Thya Larasaty