Selama dua bulan ke belakang Indonesia terus diuji dengan musibah yang beruntun. Mulai dari Gempa, Tsunami Palu-Donggala dan terbaru tsunami di Selat Sunda, dimana menurut BMKG dan BNPB Tsunami tersebut dipicu adanya air pasang akibat bulan purnama dan aktifitas erufsi anak Gunung Krakatau. Rilis terakhir korban Tsunami Selat Sunda mencapai angka 400 lebih orang meninggal.
Faktanya, bencana alam serupa pernah terjadi, yaitu letusan gunung Krakatau di 26-27 Agustus 1883 yang menjadi catatan kelam kebencanaan Indonesia. Skala letusan Krakatau sangat dahsyat, daya ledaknya mencapai kira-kira 30.000 kali bom atom Hiroshima dan Nagasaki di penghujung Perang Dunia II. Dua hari dua malam letusan Krakatau telah membunuh lebih dari 36.000 jiwa manusia. Rata-rata korban tewas akibat dampak masif awan panas yang terlontar keluar dari perut Krakatau dan akibat gelombang tsunami yang menghempas pesisir pantai Jawa, Sumatera dan Samudera Hindia.
Menurut catatan para ahli, tsunami Krakatau adalah yang terdasyat yang pernah terjadi di abad modern sebelum bencana alam mega tsunami menghempas Samudera Hindia pada 26 Desember 2004.
Dahsyatnya bencana alam letusan Krakatau dapat tergambarkan melalui penampang muka anak Krakatau yang masih aktif hingga saat ini. Ledakan super dahsyat di tahun 1883 telah menghancurkan puncak Krakatau dan menyisakan puncak baru yang lebih kecil, kini disebut sebagai gunung anak Krakatau.
Berdasarkan proses terbentuknya, rangkaian Pulau Vulkanik yang membelah Pulau Jawa dan Pulau Sumatera di Selat Sunda adalah akibat fenomena subduksi lempeng Australian dan lempeng Eurasian selama jutaan tahun. Tubrukan dua lempeng tersebut yang memunculkan kawasan Kaldera Pulau Rakata, satu dari tiga pulau sisa letusan Gunung Krakatau Purba yang meletus pada awal abad Masehi.
Perlahan, Pulau Rakata tumbuh karena dorongan aktivitas vulkanik dari lempeng Australian dan lempeng Eurasian yang menyatukan Pulau Rakata, Gunung Danan, dan Gunung Perbuwatan yang kemudian disebut sebagai Gunung Krakatau hingga terjadinya bencana alam letusan dahsyat di tahun 1883.
Sejatinya, letusan di 27 Agustus jam 10.20 WIB di tahun 1883 merupakan aktivitas awal Krakatau yang sunyi selama 200 tahun tanpa gejolak vulkanis. Penyimpanan energi besar di bawah kawah Krakatau kemudian melontarkan ledakan dahsyat. Berdasarkan pada catatan National Geographic, letusan Krakatau merupakan suara paling keras yang menghancurkan sejarah manusia di abad modern. Suaranya terdengar sampai ribuan kilometer jauhnya di wilayah Afrika Barat.
Bencana alam letusan di pagi hari itu seketika menjadikan Jawa khususnya Batavia dan Sumatera berada dalam kepekatan sempurna, tanpa sinar matahari sama sekali selama berminggu-minggu. Batu dan abu vulkanis terlempar hingga ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru. Memicu gelombang tsunami setinggi lebih dari 30 meter yang menyapu pesisir barat dan selatan Jawa.
Pasca letusan dahsyat di tahun 1883 yang meruntuhkan Gunung Krakatau, sejak tahun 1927 hingga kini, muncul ke permukaan sebuah gunung baru yang acapkali disebut sebagai Anak Krakatau. Tiap tahunnya, gunung Anak Krakatau masih memuntahkan abu vulkanis dalam skala kecil, dan bertumbuh setinggi 6 meter atau 0.5 meter per bulannya.
Saat ini kawasan Kaldera Purba hasil tubrukan lempeng Australia dan lempeng Eurasia di Selat Sunda sudah bergejolak kembali dan menjadi bencana alam yang menelan ratusan korban meninggal, ribuan orang mengungsi dan menyimpan luka mendalam bagi para keluarga korban. Meski tidak sedahsyat seperti di tahun 1883 silam, namun erupsi Anak Krakatau sampai saat ini masih terus terjadi. Kita hanya bisa berdo'a, semoga tidak akan ada lagi korban yang berjatuhan. Aamiin.
Disadur Oleh : Dede Suryana