Namun siapa menyangka. Kini di Cianjur, khususnya Kp. Tabrik saya bisa merasakan sensasi minum kopi dari kopi yang di tanam di daerah tersebut.
Usut punya usut ternyata jauh hari sebelumnya daerah tersebut punya history yang cukup baik dengan tanam kopi. Konon cerita warga setempat banyak pohon-pohon kopi tumbuh di wilayah tersebut terlebih pada masa penjajahan Belanda. Dan katanya lagi, kopi dari daerah tersebut sempat jadi primadona para bangsawan Belanda. Terlepas benar tidaknya cerita itu, biarlah ahli yang menjawabnya. Saya akan fokus pada tema lain.
Jenis kopi yang saya cicipi kali ini adalah jenis kopi Arabika, jenis yang memang cocok tumbuh di dataran tinggi seperti kampung ini. Varietas kopinya sendiri diberi nama Sigarar utang.
Meski hanya diolah dengan metode yang sederhana, hanya dijemur dengan matahari (tanpa oven) kemudian di 'sangrai' dengan wajan dengan perapian kayu bakar, tetapi tidak mengurangi sensasi meneguk kopi kami kali ini.
Namun begitu, sayangnya kami tidak meminumnya dengan ahli kopi. Jadi tidak bisa memberikan review secara objektif mengenai plus minus kopi di daerah ini dibanding daerah lainnya.
Hal yang bisa saya rasakan adalah kesan diluar kopinya. Bagaimana tidak, kami bercengkrama sambil meminum kopi, yang itu merupakan kopi yang diolah mereka sendiri. Dan bisa jadi diolah dengan penuh cinta kasih oleh keluarga itu untuk disajikan kepada anggota keluarga lain.
Seolah kopi itu berkata. "Minumlah aku, dan jadilah bagian dari keluarga ini". Begitulah kopi, sudah sejak lama menyimpan filosofi dari setiap cangkir yang tersaji. Karena menurutku, dimana kopi itu ditanam, disitulah tempat yang paling tepat untuk meneguknya.
Penjejak : Dede Suryana