BANGKIT DARI RASA SAKIT
Bogor, 17 Januari 2012 | Dibalik Kisah "MUNARTI"
PAGI itu geretan roda terdengar lagi, suaranya begitu akrab ditelingaku. Sampai akupun tak pernah terbangun jika suara itu datang saat aku masih tertidur.
Munarti, seorang wanita yang tinggal dibelakang tempat indekosku, jika di hitung, mungkin umurnya masih antara 3o-35 tahun. Tapi raut muka yang tampak, jauh lebih tua dari umur yang dimilikinya.
Awalnya dia datang ke tempat ini bersama suaminya yang bekerja sebagai karyawan pabrik Garmen, dan anaknya yang baru berusia tiga tahun. Bernama Tambun, Kehidupan Munarti berjalan mulus seperti dinamisnya keluarga pada umumnya. Setiap pagi, keseharian Munarti hanya menyiapkan sarapan dan kopi untuk suaminya. Setelah itu dia menghabiskan waktu bersama Tambun, menunggu suaminya pulang bekerja.
Selang berapa bulan, ketenangan keluarga Munarti mulai terusik, suasana gaduh mulai terdengar, sesekali terdengar pertengkaran kecil dengan suaminya, entah apa yang menjadi perselisihan, namun perselisihan itu masih dalam ambang batas kewajaran.
Hingga pada suatu hari, seperti kebiasaanya, setiap jam lima sore dia selalu duduk didepan rumah itu, menggendong Tambun untuk menunggu suaminya datang. Tapi entah apa yang terjadi sampai adzan maghrib berkumandang, yang dia tunggu tak jua muncul.
Tak lama kemudian datang seorang perempuan, nampaknya sudah begitu akrab dengan Munarti, entah siapa perempuan itu, namun dari cara mereka berbicara nampaknya sudah berkawan cukup lama. Tak terasa waktu berlalu begitu saja termakan obrolan mereka. Sampai Munarti lupa, kemana suaminya belum juga datang.
Dikeesokan harinya, Munarti masih menyiapakan sarapan, pisang goreng dan segelas kopi. Tak teringat bahwa kemarin sore suaminya tidak datang. Munarti memandangi pisang goreng dan kopi itu, dia tersentak, bahwa suaminya memang tak ada dirumah. Kecemasan mulai tumbuh. Munarti tergesa merapihkan Tambun, berniat mencari suaminya.
Meski kakinya sudah terasa pegal melangakah, pundaknyapun mulai terasa sakit menggendong Tambun. Tapi tak ada hasil yang di dapat oleh Munarti, Jangankan suaminya, kawan suaminya yang sama-sama bekerja di pabrik tidak mengetahui kemana suami Munarti pergi. Hanya saja memang pada hari kemarin suami Munarti ternyata tidak masuk kerja. Informasi itu didapat dari Mandor pabrik tempat suaminya bekerja.
Lelah dengan pencarianya, Munarti memutuskan kembali kerumahnya, beristirahat menenagkan fikiranya.
Hari berganti hari, suami Munarti tak kunjung datang. Kabar kepergian suami Munarti mulai terdengar dan santer di perbincangakan para warga. Sesekali tetangga bergiliran datang mengunjunginya, hanya sekedar menguatkan Munarti menerima semua ini.
Terhitung tiga bulan sudah suami Munarti tak pernah pulang, selama itu pula kabar tak jua muncul, dia hilang bak ditelan jaman, tak ada yang tau. Bahkan tak ada bukti yang menunjukan kalau suami Munarti mendapati kecelakaan, beberapa kali pak RT dan Pak Kades datang kerumah itu, juga tak membawa kabar tentang suaminya.
Semenjak saat itulah Munarti hidup sendiri dirumah belakang tempat indekosku. Tambun yang mulai beranjak gede, kebutuhan dapur yang harus selalu ada. Tapi persediaan tabungan sisa dari harta yang ditinggalkan suaminya telah habis, membuat Munarti menjual beberapa barang-barang berharga yang dimilikinya.
Roda yang berukuran satu meter kali setengah meter itu, menjadi tumpuan hidup Munarti saat ini, setiap pagi dia menarik roda yang berisi minuman ringan dan kopi, berjalan sekitar 2 Km, bersama anaknya menuju tempat dia berdagang. Hasilnya memang tidak terlalu besar namun cukup untuk memenuhi hajat hidupnya. Sesekali jua dia bisa menabung.
Terhitung dua tahun sudah sejak kepergian suaminya, aku bersama Munarti bertetangga, dan selama itu pula, Munarti tak pernah kulihat mengeluh, atau putus asa, senyumnya selalu riang menyapa jika bertemu dan Dia begitu giat berdagang, hingga usahanya maju. Tambun pun hidup seperti layaknya anak yang lain tak kurang suatu apapun. Meski dia hanya dibesarkan oleh seorang Munarti. Wanita yang sanggup bangkit dari rasa sakit.
Jika diterka, rasa sakit itu mungkin ada dalam benak Munarti, namun tak pernah mencuat kepermukaan, dia menelan bulat-bulat sendiri rasa sakit itu, hingga wajahnya lebih tua dari umur yang dimilikinya.
Entah dimana suami Munarti ?, entah apa yang ada dalam benak Munarti ?, entah akan seperti apa Tambun pada nantinya ?, aku tak tau pasti. Hanya ada satu hikmah yang bisa kutemuakan dari kehidupan Munarti. “Kehidupan memang tak semanis yang kita harapkan, tak sepahit yang kita takutkan. Tapi sebijak yang Tuhan Gariskan”.
Penjejak : Dede Suryana